Manfaat Internet bagi remaja generasi Z
Liburan sekolah akhirnya
berakhir, anak-anak semangat kembali ke Sekolah. Yap setelah dua tahun sekolah
daring, moment pergi ke sekolah sangat ditunggu-tunggu. Bahkan saat menjelang
liburan semester kemarin si sulung mengeluh,”Aku ga mau libur sekolah. Sebel libur sekolah terus.”
Si sulung (kelas 2 smp) ga suka libur sekolah bukan karena hobi
belajar, kutu buku atau rangking 1 dapat beasiswa, ikut olimpiade science, itu sih harapan
Mamanya heuheu. Sesekali dia ikut perlombaan mewakili sekolahnya tapi bukan bidang
akademis. Nilai akademisnya sampai saat ini alhamdulillah cukup baik. Si anak gadis pernah bilang sebel sama matematika tapi saya selalu bilang mengerjakan soal
matematika itu asik kayak main game. Jadi kenapa si anak gadis ga mau
libur sekolah?
Si sulung tipe anak supel dan senang berorganisasi, punya inisiatif
jadi seksi sibuk kalau ada acara di sekolah sejak sekolah dasar. Kalau ada
lomba antar kelas dia paling sibuk mengatur dan membuat rencana ini itu. Saya
pernah menuliskan cerita masa sekolah dasarnya tentang aktivitas di ekskul dan organisasi kepanduan di Masa-masa Indah di Sekolah Dasar.
Dua tahun pandemi menuntutnya
belajar daring dan tidak berinteraksi dengan temannya secara langsung sempat
membuatnya stress, murung dan uring-uringan sampai menemukan sesuatu lewat internet dan media sosial, ‘teman’ dan ‘mentor’ nya menggambar, dengan memfollow ilustrator-ilustrator
senior. Dia memang suka menggambar sejak sekolah Taman Kanak-kanak.
"Ma, aku ikut webinar digital art ya, Mama bayar ya, aku kirim ke wa Mama form isiannya."
"Ma, ada webinar animasi, aku pengen ikutan, Mama bayarin ya. "
"Ma, kayaknya aku harus punya laptop sendiri, laptop Mama jadul tiap aku pake gambar hang melulu ga bisa ngerender," Laptop saya memang jadul, spesifikasi rendah karena peruntukan hanya untuk menulis, ngeblog. Akhirnya laptop bapaknya dilungsurkan karena speknya cukup tinggi.
"Memangnya dia bisa mengoperasikannya, kan beda, aplikasinya gambarnya juga beda,"tanya saya pada Suami. Beradaptasi pada sistem operasional baru kan agak ruwet, pikir saya.
"Bisalah emang Mamanya," cibir suami.
Ternyata memang hanya butuh waktu satu hari si sulung beradaptasi dengan sistem operasional dan aplikasi baru di laptop barunya.
Beberapa hari berikutnya, dia bertanya pada saya cara membuat blog. "Aku mau simpan gambar di blog Mah, bukan nulis kayak Mama, buat open commision gitu. Mama ngerti kan open commision?"
Moment-moment yang menghentak kesadaran saya jika si sulung bukan anak kecil lagi. Inisiatif, keluwesannya beradaptasi dengan teknologi, caranya menentukan pilihan, kemampuannya menerapkan atm (amati, tiru dan modifikasi) dan menangkap peluang, mengingatkan saya pada istilah generasi Z, generasi yang sejak kecil kenal dan akrab dengan gawai yang canggih. Internet menjadi bagian dari gaya hidup yang bermanfaat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan tahun 2020, disebutkan bahwa generasi Z atau Gen Z merupakan penduduk yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 atau generasi yang berada pada rentang usia 10-25 tahun. Sebuah generasi peralihan dari generasi millennial dengan teknologi-teknologi yang makin berkembang.
Generasi Z yang akrab dengan teknologi digital dan menjadikannya bagian dari keseharian. Belajar tidak hanya dari bangku sekolah juga dari internet.
Selama pandemi si sulung ikut beberapa kali webinar tentang digital art, ikut lomba desain dan gambar walaupun belum sempat menang, saya senang karena wajah murungnya berangsur hilang.
Ada saatnya dia bosan menggambar dan merasa tidak ada ide seperti saat menjelang liburan kemarin. “Terus aku ngapain di rumah? Liburannya lama lagi.”
|
Remaja generasi Z fasih dengan beragam aplikasi Boleh intip koleksi gambarnya di www.zahrayes.blogspot.com |
"Ya, bantuin Mama aja beresin rumah,"saran saya, selama liburan sekolah otomatis porsi bantu pekerjaan rumah bertambah.
Boleh intip animasi sederhana hasil si sulung, menggabungkan gambar dengan photoshop dan after effect
Suatu hari tanpa diduga si anak gadis minta dibelikan ayam fillet katanya mau praktik masak. Dan jadilah masakan di foto ini, resepnya dia dapat dari browsing di Google dan media sosial (instagram dan pinterest). Selang beberapa hari praktik masak lagi. Berikut hasil masakannya, yang foto Mamanya karena memang suka motret makanan. Si sulung belum tertarik belajar memotret.
|
Praktikum anak gadis, resep browsing di internet |
Kepribadian generasi Z
Keakraban Gen Z dengan teknologi membuat mereka mudah beradaptasi dengan perubahan di dunia digital. Gaya hidup yang banyak tergantung pada akses internet, belajar, bekerja dan aktivitas sehari-hari. Wawasan mereka lebih maju, lebih mampu menerima perbedaan.
Selain itu kedekatan mereka dengan internet juga secara tidak langsung mempengaruhi kepribadiannya. Sering kita dengar anak jaman sekarang, kurang sopan-santun dan etikanya, tak sabar dengan proses, tingkat kepedulian pada lingkungan sekitar yang rendah, sibuk dengan dunianya.
Menurut pakar perkembangan anak ini terjadi karena orangtua tidak mempersiapkan mental anak sebelum anak kenal teknologi internet.
Kalau dalam agama yang saya anut, islam, ada istilah adab dulu baru ilmu, ibu/rumah adalah madrasah (tempat belajar) anak pertama. Artinya orang tua tidak bisa lepas tangan, menjadi pendamping anak mengenal internet dan membekalinya dengan ilmu kehidupan bermasyarakat (budi pekerti, norma dsb).
Tiga gaya hidup ini bisa membuat generasi Z, tidak hanya melek teknologi tapi punya kepedulian yang tinggi pada lingkungan sekitar;
1. Aktif di kegiatan sekolah seperti ekskul dan organisasi kesiswaan.
2. Bergabung di komunitas hobi yang positif.
3. Terlibat dalam isu/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan, agar mereka aware terhadap isu lingkungan yang terjadi di bumi ini.
Ketiga kegiatan diatas membuat generasi Z berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya, sekaligus melatih kemampuan emosi dan sosialnya.
Tidak ada kata terlambat mengenalkan anak pada teknologi internet
Bagi saya bukan hal mudah
menunda anak kenal
internet karena interaksi saya dengan internet dan media sosial sudah
menjadi kebutuhan (karena saya pedagang
online dan Blogger), interaksi
anak dengan teman-temannya yang sudah akrab dengan internet dan media
sosial juga tak bisa dihindari. Ketika saya membatasi akses internet, mereka ikut menonton youtube atau media sosial saat
temannya nonton. Terlebih saya bukan tipe Mamah yang suka mengurung anaknya di rumah.
Saya percaya saat anak bermain/berinteraksi dengan orang lain, kecerdasan
sosial dan emosionalnya terasah. Resikonya, anak cepat kenal hal negatif. Sisi
positifnya, hal negatif tersebut jadi bahan diskusi saya dan anak-anak.
Jika dulu, saat saya masih kuliah
(1998-2003) bisa mengakses internet dan memiliki gawai itu sebuah previlage
mungkin saat ini sebaliknya, orangtua
yang bisa menunda mengenalkan anaknya dari internet dan media social di usia dini sebuah previlage.
Banyak Ibu termasuk saya (sering)
menyerah pada tingkah laku anak lalu memberi gadget dengan alasan biar anteng. Agar anak mau makan, si anak dikasih tontonan youtube. Ya
daripada stress toh tidak bisa jadi ibu sempurna – mencari pembenaran. It’s
oke ceunah kalau sesekali karena kalau berkali-kali bisa jadi kebiasaan.
Siapa yang nonton tingkah
menggemaskannya Prince Louis dan Princess Charlotte (Putra dan putri Pangeran
Inggris Raya) yang beberapa waktu lalu wara-wiri di timeline IG saat mereka
menghadiri perayaan Latinum Jubilee- Perayaan 70 tahun Ratu Elizabeth naik tahta. Tingkah mereka
menghadapi kebosanan saat acara itu, Pincess Charlotte beberapa kali tertangkap
kamera membuka buku. Pince Louis mulai tantrum tapi Kate, William bahkan
Kakeknya Charles, kompak menghadapinya dengan tenang dan berusaha menenangkan
tanpa iming-iming gadget. Sungguh saya iri!
Dari artikel atau berita kita
juga tahu jika Bill Gates memberikan anaknya gadget saat usia remaja. Mark Zuckkerberg pendiri facebook
dan pemilik media sosial tidak
membiarkan anaknya gadget-an di usia dini.
Mungkin sebagian kita berpikir,
apa anaknya ga akan gaptek?
Menurut pakar perkembangan anak, teknologi adalah hal yang mudah dipelajari
sehingga tidak masalah mengenalkan anak pada teknologi internet di atas 3 atau
5 tahun. Jangan merasa ‘berdosa’ karena tidak mengenalkan tonton youtube pada
anak usia dini. Anak-anak bisa memahami teknologi dalam hitungan hari tapi
butuh waktu lama mengajarkan adab, sopan santun, sikap empati, rasa tanggung
jawab, memahami value dalam keluarga, agama dan masyarakat, memahami
konsekuensi suatu perbuatan, toleransi
pada perbedaan, punya pendirian dst.
Terus kita kudu piye yang sudah terlanjur mengenalkan anak
pada internet dan media sosial lebih dini?
Paparan internet dan media sosial pada generasi Z di Indonesia
Berdasarkan data BPS tahun 2018, 90% anak muda Indonesia menggunakan internet
untuk media social, untuk mengerjakan tugas hanya 31,12%. Pada masa pandemi, penggunaan internet untuk
belajar/mengerjakan tugas mungkin bertambah namun tidak lantas menurunkan
menggunaan media sosial, dari pengamatan anak sendiri dan tetangga, anak-anak
jadi mengenal media sosial lebih cepat, terutama Tiktok dan Youtube. Anak-anak
jadi memiliki handphone sendiri pada usia lebih cepat untuk mengakses internet.
Berdasarkan riset yang digagas
perusahaan independent berbasis kecerdasan buatan (AI) Neurosensum Neurosensum
yang bertajuk Neorosensum Indonesia consumers Trend 2021: Social Media Impact
on Kids . Rata-rata anak Indonesia
mengenal media sosial sebelum usia 7 tahun.
92% nak yang berasal dari kalangan ekonomi bawah 54% diperkenalkan media sosial sebelum usia 6
tahun. Survey ini dilakukan di empat kota besar di Indonesia Jakarta, Medan,
Bandung dan Surabaya.
Yap, bicara soal internet pada generasi Z atau generasi yang berada pada rentang usia 10-25 tahun, tidak
bisa dipisahkan dari media sosial. Internet membuat anak dan remaja mudah
mengakses informasi yang mendukung pendidikan dan ilmu pengetahuan di saat yang
sama mereka mengenal lalu mengakses media sosial, sengaja atau tidak sengaja.
Seperti pengalaman anak terkecil saya dua tahun lalu, yang tiba-tiba
membicarakan Tiktok padahal di gawai kami (saya, suami dan si sulung) tidak ada
yang memiliki aplikasi Tiktok, ternyata dia ikut nonton saat temannya (tetangga)
nonton. Begitupun awal mulanya si Anak Gadis kenal instagram. Walaupun saya punya akun
instagram sejak 2012 untuk mendukung aktivitas ngeblog, saya tidak pernah
memperlihatkan atau membicarakan soal instagram pada anak-anak. Usianya 10 tahun , saat dia bertanya,”Apa sih Mah Instagram? Teman-teman aku
ngobrolin itu di sekolah.” Saat bertanya itulah saya menunjukkan akun instagram
saya dan ngobrol kalau ‘pekerjaan’ Mamahnya ini yang keliatan cuma di rumah aja
masak, nyuci dan beres-beres juga bikin konten.
Beberapa waktu kemudian si sulung bilang,”Ma, teman-teman aku punya
instagram, memang boleh anak-anak punya?”
Suatu hari si Bungsu pun pernah bertanya,”Mama punya facebook?” Bingung
donk karena saya tidak pernah memperlihatkan/membicarakan facebook. “Mamanya
ALS punya facebook tahu Ma?”
“Iya biarin aja,” kata saya sambil tertawa. Tapi rupanya dia penasaran,
dengan wajah lugu bertanya lagi,”Memangnya Mamah ga punya?”
Dampak internet terhadap generasi Z
Manfaat internet banyak sekali, tapi kita bisa menutup mata pada dampak negatifnya. Kenal internet otomatis kenal
media sosial, dampak negatif ekstrim media sosial pada remaja, kasusnya
sudah sering jadi headline berita, seperti
membuat konten dengan menghalangi truk hingga memakan korban tapi nyatanya
tidak membuat kapok. Konten merusak fasilitas umum,
seperti remaja yang menendangi pagar kayu di pinggir sungai sebuah taman kota.
Merasa harus eksis sehingga
sibuk ngonten, malas sekolah. Ingin viral hingga nekad membuat konten berbahaya
atau merugikan orang lain atau dirinya.
Dampak negatif lain termasuk yang tak kasat
mata seperti menimbulkan kecemasan sering juga dibahas para
pakar psikolog perkembangan dan bagaimana mengatasinya, tulisan para ahli ini bisa dengan mudah kita cari di google.
Kita mungkin tidak dapat menunda
anak mengenal Internet dan media sosial tapi bisa menjadi pendamping,
partner dan penasehat, agar mereka bisa dengan bijak memanfaatkan internet dan
media sosial.
Kita mungkin tidak dapat
membatasi akses mereka pada internet dan media sosial tapi kita dapat
menetapkan waktu screen time dan membatasi quota agar mereka bisa menentukan
prioritas, paham mana yang penting dan tidak untuk kehidupannya kelak.
Kita mungkin tidak dapat memegang kendali sepenuhnya, apa yang tidak boleh dan boleh mereka akses di inernet tapi kita bisa menanamkan value, norma kesusilaan dan pemahaman agama yang baik agar mereka memiliki batasan sesuai norma agama dan etika.
Gaya hidup dengan internet membuat Generasi Z bisa
berkarya dan lebih kreatif sejak dini
Internet membawa dampak yang luar
biasa pada perubahan jaman, teknologi, gaya hidup, kebiasaan bahkan cara
pandang. Anak-anak dan remaja diperkotaan tumbuh lebih cepat secara kognitif. Anak-anak sekarang sudah kenal dan
paham coding, jaman saya kayaknya kudu kuliah komputer buat paham percodingan.
Begitupun dengan beragam aplikasi seperti photoshop, dulu hanya anak desain
yang mahir photoshop sekarang anak smp bahkan sd sudah mahir gambar dengan
aplikasi ini.
Beberapa remaja membuat konten di
media sosial untuk mencari penghasilan, ada yang memang kontennya positif ada
yang sekedar hahahihi. Harapannya semoga remaja pembuat konten ini membuat
konten positif agar vibes positifnya menular pada remaja lain.
Salah satu contoh kesuksesan berkarya saat usia dini dengan bantuan internet adalah Rich Brayn, berawal dari membuat konten musik rap di Youtube hingga akhirnya berkarir musik di Amerika secara profesional pada usia muda.
Remaja saat ini banyak yang sudah mahir membuat game dan animasi sederhana. Tak sedikit dari mereka bisa secara otodidak, tanpa les tapi belajar secara mandiri dari internet (youtube).
Ya pilihannya ada pada orangtua, bagaimana mengarahkan anak-anak dan remaja, agar memanfaatkan
internet sebaik mungkin dengan positif.
Saya selalu menanamkan pesan pada kedua anak saya, internet itu pake kuota, kuota itu tidak gratis alias harus dibeli,
kalau dibeli tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya rugi dan mubajir. Jangan buat nonton
yang tidak ada manfaatnya, konten tidak jelas. Budget Mamah untuk membeli kuota terbatas
karena kebutuhan tidak hanya internet/kuota.
Suka diledekin Mamah pelit kuota
tapi akhirnya mereka paham maksudnya. Dan agar penggunaan internet di rumah
maksimal manfaatnya saya menerapkan ini pada anak-anak;
Pendidikan adalah prioritas
Salah satu yang saya tanamkan pada anak-anak adalah pentingnya pendidikan termasuk pendidikan agama dan sosial. Sekolah dengan bertanggung jawab. Karena pendidikan adalah modal masa depan. Apapun cita-cita mereka, ingin jadi apapun mereka kelak saat dewasa, sekolah /menuntut ilmu dulu. Karena ilmu yang membuat mereka bisa beradaptasi dengan perkembangan jaman.
Menetapkan waktu screen time
Jangankan anak-anak, saya pun
kalau udah buka gawai, scrool mendsos, baca berita yang lagi hangat, lihat-lihat
aplikasi resep masakan, suka lupa waktu.
Tapi karena saya sudah dewasa, sudah memiliki alarm yang namanya kewajiban. Yap
ada kewajiban yang harus ditunaikan
selain terus-terusan mantengin gawai. Memasak, ngeblog, membuat konten,
menemani anak belajar dsb. Saya tahu kapan waktunya mengakses internet, kapan harus berhenti.
Anak-anakpun punya kewajiban tapi
karena rasa tanggung jawab mereka masih bertumbuh-belum sebesar orang dewasa, orang tua harus mengingatkan. Untuk
itulah perlu menetapkan waktu screen time atau membatasi waktu anak mengakses internet.
Pagi bangun tidur, sekolah tanpa
gawai. Kecuali si Anak Gadis yang sudah bawa gawai ke sekolah. Walaupun pihak
sekolah menetapkan aturan tidak membuka gawai saat pelajaran sekolah berlangsung, saya kerap mengingatkan kembali aturan itu.
Saat libur sekolah dibatasi juga.
Saya lebih banyak mendorong si anak bungsu
main dengan teman-temannya. Keuntungan rumah di perkampungan pinggiran kota,
anak-anak masih senang main sepeda, ke sawah, empang dan layangan. Si Anak Gadis sudah tidak main
seperti adiknya lagi tapi waktu screen time tetap dibatasi dan dia sudah paham
tanpa saya cereweti.
Merekomendasikan akun media sosial inspiratif
Walaupun Si Anak Gadis tidak menunjukkan tanda-tanda betah di dapur (selalu manyun kalau diminta bantuin Mamah masak), saat dia punya akun IG saya memintanya mengikuti beberapa akun masak dan food photography yang kontennya tidak sekedar masak dan moto tapi ada sentuhan seninya. Bukan hanya akun masak saya pun merekomendasikan si anak gadis mengikuti akun milik photographer kenamaan Indonesia, mengikuti akun pablik pigure seperti gubenur Jabar Ridwan Kamil karena inspirasi jejak karya arsitekturnya, kepemimpian dan gaya humorisnya. Merekomendasika untuk mengikuti akun DIY, akun media massa, akun pecinta/aktivis lingkungan.
Saya pikir ini salah satu cara mengajak anak ‘membaca’ lingkungan sekitarnya, membuka wawasan dan terinspirasi untuk berkarya. Dulu media saya ‘belajar’ majalah atau acara tv, sekarang majalah jadi barang langka, acara tv banyak gimmick atau gossip artis.
Membatasi kuota
Saya bilang ke anak-anak bahwa kemampuan kami untuk internet sekian ratus ribu, jadi mengusahan kuota senilai itu cukup selama satu bulan. Keterbukaan ini membuat anak-anak aware terhadap akses internet alias tidak boros untuk menonton tontonan konten yang tidak penting.
Mendorong anak untuk aktif dan
kreatif
|
Totte bag desain si sulung |
Salah satu dampak internet terhadap generasi Z adalah sikap lebih senang/anteng dengan gadget, kurang bisa bersosialisasi yang lebih parah, tidak peduli pada sekitar. Saya mendorong anak-anak untuk aktif di kegiatan sekolah dan lingkungan rumah, saya percaya saat mereka berinteraksi dengan orang lain, kemampuan emosi dan sosialnya terasah.
Si sulung saya sarankan membuat
IG untuk menyimpan gambar-gambarnya, sampai saat ini konsisten isinya gambar
hasil karyanya, tanpa foto diri. Mulai merambah membuat blog isinya gambar
karyanya sekaligus tempat jualannya, yap dia mulai menerima pesanan. Selama
ini hanya teman sekolahnya yang suka pesan gambar untuk ucapan selamat ulang
tahun.
Dia juga ada inisiatif mendesain
barang dengan gambarnya seperti tote bag ini. Tentu saja Mamah yang diminta
pertama kali
order hahaha.
Sebagai orang tua saya masih
tertatih-tatih membersamai anak dijaman teknologi ini, belajar dari pengalaman
dan mengamati. Pada dasarnya, kita dibekali insting melakukan hal baik, orang
tua