Bersama Bergerak Berdaya Menjadikan Bumi Lebih Baik
Perubahan cuaca yang kita rasakan
Hutan kota, paru-paru kota |
Beberapa waktu lalu sempat viral perihal suhu
udara di Ciputat Tangerang Selatan yang mencapai 37 derajat celsius dan menjadi suhu udara
tertinggi di Indonesia pada bulan April 2023. Saat membaca berita itu yang
terbayang adalah jalan Raya Ciputat yang dipadati kendaraan bermotor, berasap
dengan panas menyengat. Dua tahun lamanya saya pernah tinggal di Ciputat
Tangsel, pernah merasakan macet dan pengapnya jalanan Ciputat, sepanjang jalan
itu pun minim pepohonan.
Suhu udara yang panas selain disebabkan sinar
matahari juga aktivitas manusia yang menghasilkan carbon/gas emisi (kendaraan
bermotor, asap pabrik dsb) dan kurangnya pepohonan yang berfungsi menyerap
carbon.
Cuaca panas saat itu tidak dikatagorikan musim kemarau sebab sekitar seminggu
sebelumnya hujan deras, begitupun
beberapa hari setelahnya. Fenomena perubahan
cuaca dari panas ke hujan secara tiba-tiba atau sebaliknya ini sudah terjadi
lebih dari setahun. Penanggalan musim hujan dan kemarau tdak seperti dulu lagi.
Hujan yang turunpun tak jarang sangat deras
disertai angin cukup kencang. Sementara di beberapa negara Asia terjadi
gelombang panas adalah periode cuaca panas yang tidak biasa dengan temperature di atas rata-rata sehingga membahayakan
kesehatan dan umumnya berlangsung lebih dari dua hari. Suhu panas bervariasi Anomali
ini terjadi karena terjadinya perubahan iklim di bumi.
Anomali ini diperkuat dengan hasil pengamatan
BMKG, di Indonesia sejak tahun 2016 hingga 2020 terjadi anomali antara 0.6-0.8
derajat celsius. Kenaikan suhu secara rata-rata yang terjadi di Indonesia ini
mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Fenomena lain
munculnya siklon tropis seroja yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor di
Nusa Tenggara Timur pada tahun 2021. Fenomena siklon ini harusnya jarang
terjadi di wilayah tropis namun dalam 10 tahun ini sering terjadi.
Tentang perubahan iklim
Perubahan iklim disebut juga pemanasan global
di mana terjadi peningkatan gas rumah kaca pada lapisan atmosfer dan
berlangsung pada jangka waktu tertentu. Hal ini disebabkan emisi berupa karbon
dioksida yang dilepaskan ke udara memerangkap bumi sehingga sinar matahari
terperangkap dan suhu bumi menjadi naik. Faktor lain yang menyebabkan perubahan
iklim adalah kerusakan lapisan ozon karena penggunaan Cloro Flour Carbon (CFC),
gas buang industri dan kerusakan fungsi hutan.
Adapun dampak dari perubahan iklim dan mulai kita rasakan diantaranya;
Curah hujan tinggi, musim kemarau
berkepanjangan, meningkatnya volume air laut karena mencairnya es di kutub.
Terjadinya bencana alam angin putting beliung, longsor dan berkurangnya sumber
air bersih.
Studi terbaru dari IPCC
(Intergoverment Panel on Climate Change) melaporkan jika suhu bumi diperkirakan
naik 1.5 derajat dalam waktu kurang dari 20 tahun, ini meleset dari target
perjanjian paris (Paris Agreement) dimana para pemimpin dunia berjanji
memperlambat laju pemanasan global dengan mengurangi gas emisi carbon yang
dihasilkan industri. Kenaikan suhu bumi sebesar 1.5 derajat terlihat kecil padahal dampaknya cukup
serius terutama untuk biodata laut dan pencairan es di kutub.
Mengurangi laju perubahan iklim
Peran Masyarakat adat
Perubahan iklim berdampak bukan hanya pada
manusia juga lingkungan, ekosistem hutan, perairan dan kawasan konservasi. Di
sinilah pentingnya peranan masyarakat adat atau komunitas lokal di sekitar
kawasan konsevasi. Masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and
Local Communities) memiliki tradisi panjang dalam mengelola dan mengekstraksi
sumber daya alam tanpa mengorbankan proses dan fungsi ekologis. Salah satu
contoh masyarakat adat di Indonesia yang secara konsisten melestarikan
lingkungannya dan memanfaatkan seperlunya adalah masyarat adat Baduy.
Masyarakat adat sebagai garda terdepan
pelestari lingkungan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim namun bukan
berarti kita tidak harus berkontribusi, malah sebaliknya karena menjaga bumi
adalah tanggung jawab bersama.
BersamaBergerakBerdaya
Dengan #BersamaBergrakBerdaya, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk
mengurangi laju perubahan iklim. Hal kecil tapi jika dilakukan dengan konsisten
dan serempak dampaknya akan terasa. #UntukmuBumiku ini yang saya lakukan;
Menggunakan
transportasi massal.
Walaupun belum sempurna, moda transportasi massal di Indonesia mulai nyaman dan
terintergrasi di beberapa kota. Menggunakan transportasi massal untuk kegiatan
keseharian seperti kerja, sekolah dan kuliah dapat mengurangi emisi karbon.
Selain mengurangi emisi karbon juga menghemat, waktu dan tenaga. Emisi yang
dihasilkan akan lebih sedikit karena bus ditumpangi puluhan penumpang sementara
kendaraan pribadi hanya 1 atau 2 orang.
Biasakan berjalan kaki. Wara-wiri sekitar rumah, ke warung
tetangga, tukang sayur, jika jaraknya tidak terlalu jauh lebih baik berjalan
kaki atau bersepeda. Kebiasaan ini juga saya terapkan pada anak-anak.
Keuntungan lain yang didapatkan dari kebiasaan berjalan kaki adalah badan
menjadi sehat dan bugar.
Diet plastik. Selalu membawa kantung belanja sendiri saat
belanja untuk mengurangi sampah plastik. Seperti kita ketahui barang berbahan plastik baru bisa terusai 10 hingga 1000 tahun (tergantung jenis
plastiknya, artinya mereka akan mencemari tanah, sungai dan laut sebelum terurai.
Menyediakan lahan
serapan air hujan di sekitar rumah. Salah satu isu yang mengancam di masa mendatang karena perubahan iklim
adalah kekeringan dan berkurangnya air tanah. Salah satu cara menjaga
ketersediaan air tanah adalah dengan menyediakan ruang untuk air hujan diserap
tanah dengan cara menghindari semua permukaan rumah di semen.
Menghemat listrik dan
air. Rumah yang didesain
dengan jendela yang meungkinkan sirkulasi udara baik dan menghemat listrik. JIka sirkulasi udara baik udara
dalam rumah tidak terlalu panas, hemat penggunaan
AC atau kipas angin. Dengan jendela cukup besar rumah tetap bisa terang di
siang hari tanpa menyalakan lampu
Masak secukupnya,
habiskan makanan.
Banyak yang tidak menyadari jika sepiring makanan yang tersaji di meja makan, melalui proses panjang.
Sebut saja sepotong tempe, ada proses menanam kedelai, setelah dipanen diangkut
ke pabrik mengolahan untuk dijadikan tempe. Jejak emisi carbon yang dihasilan
tidak sedikit. Jadi habiskan makanan. Jika makan di restoran dan tidak habis
jangan sungkan minta sisanya dibungkus (jika sisanya layak makan) dan habiskan
di rumah, di beberapa negara ini sudah menjadi budaya lho.
Reduce, reuse, recycle.
Yang melenakan
bu-ibu adalah racun promo di
marketplace. Barang bagus dan murah yang menggoda padahal ga penting-penting
banget, padahal barang serupa bisa dibuat dari reuse atau recycle barang
bekas. Tahan belanja barang yang hanya
karena lapar mata.
Berkebun di rumah. Keberadaan pohon ibarat spons/busa karena kemampuannya menyerap karbondioksida yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilakukan manusia . Setiap pohon yang kita tanam menghasilkan gas oksigen dan menyerap karbon dari udara. Fungsi pohon ini dijalankan secara masif oleh hutan, sayangnya seiring waktu hutan berkurang. Kenyataan ini terpampang nyata, hutan Kalimantan yang disebut sebagai paru-paru dunia, luasnya sudah jauh berkurang. Keadaan ini mau tidak mau menuntut setiap orang untuk memiliki kesadaran menanam pohon di lingkungan sekitarnya termasuk di pekarangan rumah.
Keberadaan pohon di rumah selain membuat udara
bersih dan segar. Saat matahari menyilaukan dan panasnya menyengat, saya masih
bisa merasakan hembusan angin yang menyegarkan ketika berdiri di teras rumah.
Begitupun bersediaan air tanah yang cukup saat musim kemarau karena area
sekeliling rumah yang terbuka menjadi area resapan air.
Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!
Referensi
bmkg.go.id
https://www.bisnis.com/amp/read/20190817/77/1137821/bus-dan-truk-sumbang-emisi-co2-tertinggi-di-jakarta
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6069771/gelombang-panas-pengertian-penyebab-dan-dampaknya/amp