Sajian Istimewa di Akhir Tahun dengan Masakan Minahasa
Indonesia Food Blogger. Lahir dan besar di Bandung, Bapak saya orang
sunda tulen, ibu saya orang Madiun yang besar di tanah Sunda (Purwakarta), membuat
lidah saya terbiasa dengan menu makanan
Sunda, Jawa atau perpaduan keduanya. Ibu saya selalu
menambahkan gula pada setiap masakannya termasuk sambal. Awalnya saya pikir
memang resep sambal itu memakai gula, sampai akhirnya saya menikah dengan orang
berdarah Sumatera Barat, yang spontan mengerutkan kening mencicipi sambal buatan
saya untuk pertama kalinya.
“Kok rasanya manis?”
“Iya kan pake gula tapi tetap pedes kan?”
“Iya tapi rasanya aneh. Memangnya bikin sambal
pake gula ya?”
Masakan Jawa memang terkenal dengan cita rasanya
yang manis, masakan Sumatera Barat selain pedas juga kaya rempah. Sementara
orang sunda, paling doyan lalapan, sayuran mentah yang dimakan dengan sambal.
Ngobrolin cita rasa masakan nusantara yang
beraneka ragam dan rasa tidak bisa dilepaskan dari budaya dan sejarah.
Bagaimana budaya dan sejarah membentuk selera makan sebuah suku bangsa. Menurut
pakar kuliner, William Wongso, “Tidak ada yang namanya makanan Indonesia, yang
ada hanyalah masakan atau makanan daerah.” Pernyataan ini untuk menunjukkan sangat
beranekaragamnya masakan daerah di Indonesia dan tidak bisa disamakan walaupun
mirip. Masakan Aceh dan Sumatra Barat,
sama-sama pedas, berkuah santan dan kaya rempah, tapi cita rasa dan aromanya
berbeda.
Karena lidah saya terbiasa makan masakan Sunda,
Jawa dan Sumatra Barat (setelah menikah), untuk menyajikan hidangan istimewa di
akhir tahun lalu, saya menantang diri
sendiri untuk mencoba masakan khas daerah lain di Indonesia yaitu masakan dari
Menado Sulawesi Utara tantangan ini sekaligus diikutsertakan dalam IDFB Blog Challenge sebuah komunitas food blogger Indonesia.
Woku, cita rasa Minahasa yang pedas dan kaya aroma
Perkenalan saya dengan kuliner Menado dimulai
tahun 2012, saat itu ada acara kantor (jaman masih kerja) ke
Menado. Kunjungan yang menjadi moment pertama kalinya mencicipi pisang
goreng di cocol sambal roa. Untuk orang sunda yang terbiasa mencocolkan lalapan
mentah ke sambal tentu saja ini hal aneh, tapi ternyata enak. Kok bisa pisang
goreng yang manis disandingkan dengan sambal yang bercita rasa pedas?
Ternyata karena lidah orang Minahasa (suku terbesar di Sulawesi Utara) terbiasa makan makanan pedas, hampir semua masakan Minahasa mengandung cabai. Selera pedas yang disukai masyarakat Sulawesi Utara ini bukan tanpa sebab, ada sejarah panjang yang berkaitan dengan kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Sebagai Indonesia Food Blogger tentu tak sekedar menikmati makanan tapi menilik lebih jauh soal makanan khas Indonesia.
Sebelum lanjut cerita sejarahnya, intip dulu resep khas
Sulawesi Utara yang populer yaitu Woku. Woku ini merujuk pada bumbu, yang bisa
dimasak dengan ikan, daging ayam atau sayuran. Saya mencoba masak woku ayam.
Woku adalah menu favorit masakan Minahasa Sulawesi Utara. Bumbu kaya rasa dan aroma ini (aroma dari daun kemangi, daun jeruk, daun pandan) tidak hanya dipakai untuk ikan atau ayam, bisa juga untuk sayuran. Saya sendiri baru tahu lho jika bumbu Woku bisa digunakan untuk sayuran. Ehm, jadi pengen coba, kira-kira masak sayur apa yang cocok pake bumbu woku, ada saran?
Resep Ayam Woku
Bahan
1 ekor ayam, potong bersihkan
Minyak untuk menumis bumbu halus secukupnya
2 lembar daun jeruk
1 batang serai
2 ikat kemangi (atau sesuai selera)
1 batang daun bawang
2 lembar daun pandan
2 buah tomat, potong kasar
2 Cabe merah, iris kasar
Bumbu halus:
8 bawang merah
4 bawang putih
10 cabe merah
5 cabe rawit
½ ruas
jari kunyit
½ ruas jari jahe batang seraiserai
Cara membuat
Rebus ayam sebentar lalu buang airnya (untuk
membersihkannya dari lemak)
Tumis bumbu halus hingga harum, tambahkan daun
jeruk, serai, ayam tambahkan air sekitar 500ml dan garam lalu ungkep hingga
bumbu meresap dan ayam empuk. Tambahkan air jika dirasa kurang.
Masukkan irisan daun bawang, cabe iris, tomat
dan kemangi, masak sebentar. Angkat, hidangkan ayam woku dengan nasi hangat.
Pada masakan Sulawesi Utara ada istilah bumbu campur yaitu campuran bumbu yang terdiri dari serai, kemangi, daun kunyit dan daun jeruk. Bumbu campur ini hampir digunakan pada banyak masakan khas Sulawesi Utara. Bumbu campur ini menciptakan aroma yang khas pada masakannya.
Perjalanan Cabai di Sulawesi Utara
Menurut buku antropologi kuliner yang saya baca,
kegemaran masyarakat Minahasa (suku terbesar di Sulawesi Utara) akan makanan pedas berawal saat penjelajah Spanyol
sampai ke Sulawesi (tahun 1521 M) karena cengkih, salah satu rempah yang diburu
pada masa itu. Cengkih, rempah yang kemudian sering ditemui pada masakan daerah Sumatera Barat dan Aceh tapi pada masakan
khas Minahasa justru cengkih tidak ditemukan.
Orang Spanyol yang datang ke Sulawesi Utara selain untuk bertransaksi cengkih (pada akhirnya bukan transaksinya tapi perampasan hingga Spanyol rebutan dengan Belanda soal cengkih) juga memiliki misi menyebarkan agama. Para biarawan yang datang dan tinggal menanam cabai untuk dikonsumsi (campuran masakan), dari sanalah pohon cabai menyebar di Sulawesi dan dibudidayakan terlebih pada masa itu sebagian masyarakat Minahasa sudah bertani. Hingga kini Tomohon, salah satu daerah di Sulawesi Utara penghasil cabai terbesar di Sulawesi.
Jalan-jalan ke Tomohon Sulawesi Utara
Cabai sendiri berasal dari benua Amerika, sampai ke Eropa dibawa Columbus setelah doi nyasar ke sana (boleh baca ulasan buku Sejarah Rempah yang saya tulis di kompasiana/rinasusanti2), lalu sampai di Sulawesi Utara oleh para biarawan dari Spanyol.
Sejarah Rempah. Citarasa yang melayarkan ribuan kapal.
Klappertart
Klappertart, siapa tidak kenal kue asal
Sulawesi Utara yang satu ini, manis, lembut dengan aroma kayu manisnya yang bikin
ketagihan. Tak cukup makan satu cup, tak heran saya lebih suka membuatnya
sendiri daripada membeli biar bisa makan sepuasnya hahaha. Makanan satu ini tak
lepas dari sejarah penjajahan Belanda di Sulawesi Utara.
Sekitar tahun 1600 M, Belanda masuk ke Sulawesi
Utara, berlahan tapi pasti mengusir keberadaan Spanyol. Pendudukan Belanda di
Sulawesi Utara menyebabkan asimilasi dan akulturasi budaya termasuk dalam hal kuliner. Klappertart merupakan makanan berpaduan resep Belanda
dan Indonesia . Penamaan kue ini sendiri berasal dari dua
suka kata yaitu Klapper lafal yang diucapkan orang Belanda untuk kelapa,
sedangkan tart dalam bahasa Belanda berarti kue. Jadi menurut referensi yang saya baca, orang Belanda yang tinggal di Sulawesi Utara dan terbiasa membuat kue tart tertarik
mencampurkan kelapa ke dalam adonan tartnya karena melihat di Sulawesi Utara banyak kelapa.
Eksperimen yang ternyata berhasil, terciptalah makan yang sangat enak, akh
pokoknya enaklah si Klappertart ini. Oh
ya pilihan kacang kenari yang ditambahkan pada kue ini bukan tanpa sebab, tapi
karena Sulawesi Utara sejak jaman dulu terkenal sebagai penghasil kacang
kenari. Kue ini juga ditaburi kayu manis atau cinnamon, rempah yang sudah
sejak dulu digunakan orang Eropa untuk aneka cake atau masakan.
Resep Klappertart
Bahan
Lapisan 1
300 gram daging kelapa muda
200 ml susu uht
300 ml air kelapa
60 gram terigu
60 gram maizena
200 gram kental manis
100 gram salted butter (atau margarine)
4 kuning telur
vanili
garam
Lapisan 2
4 putih telur
2 sdm gula pasir
2 sdm terigu
kayu manis, kismis dan kacang kenari
secukupnya.
Cara membuat
Lapisan 1
Campurkan tepung terigu, maizena, susu, air kelapa, aduk rata. Tambahkan susu kental manis dan salted butter. Panaskan dengan api kecil, aduk hingga kental. Dinginkan, lalu tambahkan kuning telur, mixer hingga tercampur rata. Tambahkan daging kelapa muda, aduk, tuang ke dalam wadah. Oven selama kurang lebih 25 menit.
Lapisan 2
Sementara mengoven, siapkan lapisan 2. Kocok putih telur dan gula pasir hingga kaku, tambahkan terigu, aduk dengan spatula. Tambahkan lapisan dua ke dalam wadah yang sudah berisi lapisan satu yang sudah matang, taburi kacang kenari dan kayu manis, oven kembali selama 10 menit. Sajikan hangat atau dingin.
Tertarik mencoba kedua resep di atas? Rasanya enak-enak lho
Referensi tulisan
Sejarah Rempah, Jack Turner , Penerbit Bambu
Antropologi kuliner Indonesia, Penerbit Gramedia.