Maya Stolastika Boleng Petani Organik Milenial
Pertanian organik vs pertanian non organik
Saat ini makin banyak masyarakat yang menyadari
pentingnya menerapkan gaya hidup sehat. Hidup seimbang antara kebutuhan jasmani
dan rohani. Seimbang antara bekerja, olahraga dan istirahat. Seimbang
mengkonsumsi makanan yang bukan hanya bergizi tapi aman dari bahan kimia
berbahaya.
Tidak bisa dipungkiri banyak produk pertanian
menggunakan pestisida pada proses pertumbuhannya, untuk menghindari hama
sehingga panen dapat dilakukann tepat waktu dengan jumlah melimpah (tidak
sebagian rusak karena dimakan hama). Pemakaian pupuk kimia untuk kesuburan dan
mempercepat proses pertumbuhan atau penggunaan rekayasa genetik agar tanaman
cepat tumbuh, tahan hama dan sempurna, misal menjadi lebih manis tanpa biji
jika buah-buahan.
Tapi cara itu memberikan efek yang tidak baik untuk
kesehatan dalam jangka panjang. Selain itu, tanah yang kerap digempur dengan
pestisidapun akan rusak kesuburannya. Sebagian masyarakat yang menyadari hal ini
mulai mencari hasil pertanian organik, yang ditanam tanpa pestisida. Di
beberapa supermarket biasanya ada rak khusus untuk buah dan sayuran organik dengan harga lebih mahal.
Ada banyak alasan pangan organik lebih mahal
dari pangan non organik diantaranya, pangan organik butuh perawatan khusus, karena tidak menggunakan pestisida untuk
mencegah hama mereka harus mencari bahan organik yang bisa mencegah hama serta memakai pupuk organik yang harganya lebih mahal dari
pupuk kimia.
Saya pernah mengikuti kunjungan ke sebuah
pertanian organik di Bogor, petaninya mengatakan mereka kadang mengecek secara
manual keberadaan hama saat sedang menyiram atau menyiangi rumput liar, jika
terdapat tama seperti ulat atau keong, mereka akan membuangnya. Beda jika pertanian
non organik secara periodik disemprot pestisida.
Bicara soal bahaya penggunaaan pestisida tidak semua petani mengetahuinya, terutama petani
tradisional, untuk itu perlu mengarahan dan bimbingan bagaimana menggunakan
pestisida secara tepat sesuai takaran untuk meminimalisasi efeknya atau berlaih ke pertanian organik.
Namun tidak mudah meminta petani beralih ke
pertanian organik karena penyesuaiannya butuh waktu dan dinilai ribet selain nanti hasil pertanian
akan menjadi mahal dan ini menyulitkan distribusi. Untuk itu pengarahan dan pembinaan untuk petani beralih ke pertanian organik harus dibarengi
bagaimana memasarkan produk mereka.
Jatuh bangun Maya Stolastika membangun pertanian organik
Adalah Maya Stolastika Boleng, petani muda dari
generasi milenial, pemilik Twelve’s Organic di desa Claket dan Desa Mligu kec.
Pacet, Kab. Mojokerto Jawa Timur. Wanita kelahiran Flores Timur 37 tahun lalu.
Perkenalan Maya dengan pertanian organik
dimulai saat ia berkunjung ke Bali dan disuguhi jus wortel yang rasanya berbeda
dengan jus wortel yang biasa ia konsumsi. Rasa Jus wortelnya lebih segar dan
tidak tercium bau sayuran setelah dicari tahu ternyata karena jus terbuat dari
wortel yang ditanam secara organik dimana pemakaian bahan kimia sintesis sangat
dibatasi bahkan dieliminasi.
Perkenalan dengan pertanian organik sangat
membekas di hati Maya terlebih setelah ia tahu pertanian organik juga menjaga
kesehatan tanah, menyeimbangkan ekosistem karena zat hidup renik dalam tanah
tetap hidup untuk menyuburkan tanah.
Kembali ke Surabaya bersama empat temannya,
dengan modal patungan hasil kerja mereka menyewa tanah seluas 5 ribu meter
persegi di Claket, mereka memulai bertani organik dan pertanian mereka namai
Kembang Organik Farm.
Usaha pertanian organik yang dirintis Maya
bukan tanpa kendala terutama di tahun pertama, ia sempat kebingungan menawarkan
hasil panennya. Saat itu tahun 2008 jadi belum ada WA untuk membroadcast pesan,
jangankan WA orang yang memiliki handphone saja masih terbatas. Maya dan
teman-temannya menawarkan sayuran dengan cara menelpon atau door to door ke
supermarket dan restoran.
Tiga temannya memutuskan tidak melanjutkan
gabung, tinggal Maya dan satu temannya. Dengan modal memberanikan diri Maya dan temannya kembali mencoba pertanian
organik dan memperoleh pinjaman tanah yang cukup luas.
Jalan untuk memasarkan hasil pertaniannya
justru datang dari arah tak terduga, saat seorang manajer supermarket yang
pernah ia hubungi membutuhkan supplier sayuran organik. Sayangnya keberhasilan
itu tidak berselang lama karena tuntutan kuliah dan pekerjaan. Namun panggilan
untuk mencoba kembali pertanian organik membuat Maya dan temannya kembali
mencobo pertanian organik tapi menghadapi kendala yang tidak disangka yaitu
sewa lahan yang sudah sangat mahal. Akhirnya Maya mengambil sayuran dari petani
sekitar dan menyalurkannya.
Sampai datang rencana tak terduga, seseorang
menawarinya untuk mengelola lahan tidur seluas 3.5 hektar. Belajar dari
pengalaman mereka menerapkan strategi baru untuk penjualannya yaitu dengan cara
menjual hasil kebun langsung pada konsumen, dengan nama program Garden Fresh
Market, saat panen kebun dibuka untuk kunjungan konsumen membeli dengan cara
memetik sendiri dan ternyata cara ini sangat menarik, sehingga saat panen bisa
menjual 200-250 kg sayuran.
Karena usahanya Maya mendapat penghargaan dari
Oxfam Indonesia pada tahun 2016 dan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia
(SATU) Indonesia Award tahun 2019.
Kesuksesan sebuah usaha memang tidak ada yang
instan ya, bertahan saat jatuh dan memilih kembalio bangkit menjadi kunci kesuksesan.
Yang dilakukan Maya sangat menginspirasi
terlebih saat ini jumlah petani di Indonesia terus menurun terutama petani
muda.
Tidak ada komentar