Drama PPDB
Peraturan zonasi bikin galau
Akhirnya merasakan ‘drama’ PPDB.
Sejak aturan zonasi diberlakukan untuk memilih sekolah negeri (smp dan sma)
saya sudah galau, karena tinggal di pinggiran kota perbatasan tiga kota (Pondok
Petir-Depok, Pamulang-Tangsel, Gunung Sindur-kab. Bogor) dan dua provinsi
(Banten dan Jabar). Akses pendidikan yang lengkap dan katakanlah sudah maju yang
dekat dari tempat tinggal saya adalah Tangerang Selatan (Tangsel). Tempat
tinggal saya di belakang perum Permata/Villa
Pamulang. Walaupun secara jarak hitungan
km tidak bisa dibilang dekat, sekitar diatas 2 sampai 3 km lah ya. Masih enak
diakses dengan kendaraan roda dua.
Jadi saya menyekolahkan kedua
anak-anak di sekolah swasta di Tangsel,
sekolah dengan basis pendidikan islam. Saat si sulung masuk SD peraturan masuk
ke sekolah negeri masih seperti dulu dengan nilai, lalu ada perubahan beberapa
sma di Tangsel memberlakukan tes masuk tertulis. Rencananya mau mencoba sekolah
sma negeri di Tangsel.
Kami memutuskan untuk smp masih
sekolah swasta dengan pertimbangan anak-anak harus memiliki dasar pemahaamn
agama yang cukup baik. Baru sma mau mencoba negeri karena mulai terasa ya biaya
2 anak sekolah di swasta heuheu.
Sejauh ini saya puas dengan
fasilitas dan kualitas sekolah anak-anak. Banyak eskskul yang
bisa dipilih, anak-anak didukung berkembang sesuai bakat dan minat. Kegiatan
kepanduan ga sekedar pake seragam tapi belajar kepemimpinan dan berani. kegiatan kemping mulai kelas 4, lanjut hingga kelas 6 (tiap tahun) ada sanlat Ramadan
dll.
Alhamdulillah anak-anak happy
menjalani hari-hari sekolah. Antusias dengan ekskul yang mereka pilih.
Boleh baca Masa Indah di Sekolah Dasar
Yap alasannya memang biaya, bukan
tidak mau anak bersekolah di sekolah swasta, saya rasa ini juga yang banyak
dirasakan banyak orangtua.
Biaya sekolah swasta berbanding
lurus dengan fasilitas dan kualitas yang ditawarkan. Jadi jangan tanya kenapa
swasta mahal ya bestie…. Selain fasilitas kan gurunya juga harus di gaji dengan
jumlah layak.
Mencoba masuk sekolah negeri jalur non zonasi
Quota zonasi kan 50%. Betul
sekali bestie sisanya bisa jalur lain tapi ga mungkin saya boong pake jalur pindah
tugas (bekerja) orang tua, pindah kk (ribet), atau jalur untuk orang tidak mampu (ngeri jadi doa
beneran ga mampu kan).
Peluang saya hanya jalur prestasi.
Jalur prestasi ini ada dua, prestasi raport dan kejuaraan. Prestasi raport saya
udah nyerah setelah ngobrol sama ibu (ortu
teman anak) yang memasukkan anaknya ke sekolah negeri jalur prestasi raport tahun lalu, rata-rata
nilai minimal harus 90 (dari kelas 1) jika ingin peluangnya lolos. Gila sih ini
hanya untuk orang jenius hahaha. Saya dulu rata-rata kisaran 80 hingga 85 udah
bisa leluasa pilih beberapa sekolah negeri, angkatan 90 pasti tahu ya. Dan ini
terbukti sore hari (di hari pengumuman ppdb) anak gadis mendapat kabar temannya
yang juara 1 di kelas yang rata-rata
nilainya 90, ga lolos japres raport ke sma 1 dan sma 5 Depok (sekolah anak kami
diperbatasan dengan Pondok Petir Depok).
Anak saya nilainya kisaran 80
sampai 85, udah pasti kalah kalau masuk japres raport dan saya pun tidak mau
ngepush anak-anak supaya belajar mengejar nilai 90 sementara minat dan bakat anaknya ada pada hal-hal lain. Misalnya si sulung yang lebih jago menggambar dibanding
mengingat angka dan memahami logika matematis. Jujurly, saya suka merasa tangan
dia itu ajaib kalau sudah melihat hasil gambarnya.
Boleh baca Pegiat Literasi
Semua anak pintar tapi jenis
pintarnya berbeda-beda dan si sulung sepertinya dominan otak kanan daripada
otak kiri. Saya tidak mau membunuh mimpi dan kemampuannya dengan mempush supaya
nilai rapornya 9, yang stress nanti bukan hanya anaknya juga saya, iya kan?
Akhirnya mencoba menempuh japres
kejuaraan. Ini pun sebenarnya tanpa direncanakan. Sebelumnya saya pasrah, ya
udah anaknya sekolah swasta aja lagi karena merasa tidak punya pilihan. Sekolah
sma negeri di Gunung Sindur pun jaraknya dari rumah 5 km lebih, zonasi udah
pasti ga bisa!
Kejurnas tingkat smp |
Anak gadis punya kegiatan yang
dijalani secara konsisten sedari SD, atas inisiatifnya sendiri. Saya cukup mendukung
dengan mengantar jemput dan bayar hahaha. Dia suka kegiatan bela diri. Sejak sd
ikut lomba itupun bukan karena saya suruh murni karena keinginan sendiri. Jadi
kalau dari sekolah ada info lomba, dia daftar (saat sd, 4 kali ikut pertandingan, smp juga 4 kali ikut pertandingan). Akhirnya ya setiap dia pengen
tanding kami jabanin, dipastikan latihan dan diberi nasehat agar punya target
menang, ga harus menang tapi berusaha menang. Siapa sangka kegiatan itu berlanjut
sampai sekarang, terakhir ikut pertandingan kejuaraan tingkat nasional dan menang.
Kejurda tingkat sd |
Dengan bekal sertifikat ini saya
mencoba peruntungan daftar di sekolah negeri tempat saya tinggal kab Bogor. Saya
tidak tahu berapa peluangnya lolos, yang pasti galau saat melihat data di web
ppdb hampir 350 orang yang daftar jalur prestasi ke sma itu, tapi diantara 350
peserta itu bisa dihitung dengan jari yang mendaftar dengan jalur prestasi
kejuaraan.
Tapi itu tidak sekonyong-konyong
membuat tenang, karena quota japres
kejuaraan itu sedikit. Misal quota total japres kejuaraan dan raport 100 orang, nah
japres kejuaraan sekitar 10% nya, yaitu 10
orang. Ini untuk ppdb Jabar. Ppdb prov Banten hitungan kuota japres akademik dan japres kejuaraan beda lagi, kalau jadi beda provinsi beda pembagian kuotanya.
Bulan Maret saya mencoba daftar di MAN 1 Tangsel dengan jalur prestasi kejuaraan dan tidak lolos!
Point japres kejuaraan dihitung
berdasarkan tingkat kejuaraan, misal kejurnas pointnya 100, kejurda 50, level
internasional lebih besar lagi poinnya. Tapi perhitungan poin berbeda untuk tiap provinsi. Misal ppdb prov. Banten, kejurnas hanya dihitung 60 poin. ini Nah untuk japres kejuaraan ini katanya minimal level kejuaraan daerah
bukan level kejuaraan kota. Tapi kalau mau mencoba dengan kejuaraan kota bisa,
jika tidak ada saingan bisa lolos, katanya. Yang pasti sekolah akan memilih
yang pointnya lebih besar dulu.
Menanti hasil PPDB dengan galau,
sampai dua hari menjelang pengumuman, tidur dengan gelisah kebawa mimpi, di
mimpi anak gadis ga lolos. Mencoba iklas, doa-doa dalam hati jika ga lolos dan
harus sekolah swasta dicukupkan rejekinya. Lumayan bikin galau ya biaya masuk swasta belasan juta belum uang
kegiatan tahunan dan bulanannya, duh
benar-benar berdoa kenceng itu supaya rejekinya cukup jika sekolah di sana,
plus rejeki untuk kuliah.
Akhirnya…setelah melalui drama,
ga tahu cara ngecek anaknya lolos atau nggak di PPDB, masukin nomor peserta
tapi nama anaknya ga keluar, wa bapaknya kalau anaknya ga lolos, udah ngabarin
juga di grup bestie jika anak saya ga lolos PPDB. Sedih tapi berusaha
ikhlas…
Menjelang magrib buka-buka web PPDB lagi, coba klik-klik fitur, ga sengaja ketemu cara ngecek kelulusan PPDB yang tepat dan Alhamdulillah anaknya keterima di sma negeri kab Bogor. Rupanya saat siang ngecek sistemnya belum sempurna, jadi saat ngecek hanya memasukkan nomor peserta berdasarkan kota saja ga bisa. Harus klik nama smanya. Menjelang malam ternyata bisa masukin nomor peserta saja, keluar hasilnya lolos atau tidak.
Anak gadis masih mau mencoba daftar sma negeri di Tangsel yang akan dibuka awal bulan Juli, sma Tangsel jaraknya lebih dekat dari rumah dibanding ke sma negeri kab. Bogor. Saya mendukung untuk mencoba, yang pasti doanya semoga dapat yang terbaik.
Tips mengikutkan anak-anak lomba/kejuaraan
- Pilih
lomba yang penyelenggaranya bukan abal-abal. Karena sertifikat lomba bisa
untuk masuk sekolah negeri, mulai dimanfaatkan orang dengan mengadakan
lomba abal-abal.
- Pilih
lomba sesuai minat dan bakat anak, jadi tidak sekedar mengejar sertifikat
tapi berguna untuk ke depannya. Jika anak pintar di bidang akademik bisa mencoba ikut olimpiade science nasional.
- Ikuti
lomba berjenjang. Coba lomba tingkat, kota, daerah, kerjurnas, jika
memungkinkan tingkat internasional.
- Abadikan
momen lomba dengan kamera karena foto ini dibutuhkan saat mendaftar PPDB,
kita diminta upload foto saat lomba selain sertifikat. Katanya ini salah
satu mencegah peserta japres kejuaraan bukan kejuaraan abal-abal.
Banyak manfaat yang bisa
didapatkan saat mengikutertakan anak lomba (sesuai minat anak tentunya jadi
tidak ada unsur paksaan), mengasah skill anak, anak menjadi percaya diri,
terbiasa merasakan rasanya menang atau kalah, dan caranya harus membangkitkan
semangat saat kalah (dengan support orang tua tentunya), punya pengalaman baru setiap ikut lomba.
Sebenarnya yang bikin galau bukan sistemnya sih. Menurut saya yang bikin galau itu adalah adanya stigma "SEKOLAH FAVORIT". Memang normal dan wajar kalau orangtua menginginkan yang terbaik bagi putra putrinya.
BalasHapusMasalahnya adalah kemudian timbul pandangan bahwa jika anak mereka bisa bersekolah di sekolah favorit maka masa depannya terjamin atau setidaknya berpeluang untuk sukses. Padahal, faktanya tidak demikian adanya.
Banyak sekali mereka yang lulus dari sekolah terkenal dan mahal gagal dalam hidupnya. Meski juga ada yang sukses.
Masalah di sistem zonasi, cenderung karena masih banyak orangtua yang memiliki pandangan seperti ini. Mereka kemudian dengan "segala cara" termasuk berbuat curang demi masuk ke sekolah favorit. Hasilnya disambut dengan banyaknya oknum yang memanfaatkan keinginan itu untuk keuntungan mereka.
Mau pakai sistem apapun kalau stigma sekolah favorit tidak dihilangkan, hasilnya bakalan sama. Kecurangan akan tetap terjadi karena kompetisi coba diakali dengan jalan curang.
Oleh karena itu saya bingung kenapa banyak ortu galau dengan sistem zonasi. Hal itu menandakan mereka tetap berusaha memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Yang artinya kesadaran masyarakat bahwa masa depan anak bukan ditentukan di sekolah favorit masih sangat kental.
Padahal, para ortu itu sudah melihat kenyataan dan fakta bahwa yang paling menentukan dalam kehidupan adalah karakter dan pribadi dari si anak. Masa depan anak juga kerap bukan tergantung di mana mereka bersekolah tetapi kemauan si anak untuk terus berkembang dan belajar.
Setidaknya itu pandangan saya