Bahagia, Kita yang Tentukan
Assalamualaikum
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan
berita seorang ibu di Brebes, melakukan kekerasan hingga menewaskan anaknya. Shock,
ngilu, dan miris , campuran perasaan
yang pastinya dirasakan banyak ibu lain, selain pertanyaan yang bergumal dalam
hati, kok bisa? Kok tega? Hal yang rasanya tidak mungkin tapi jika seorang Ibu kehilangan kesadaran akibat depresi berat bisa
terjadi.
Menurut sebuah riset Ibu rumah tangga rentan terhadap depresi (kasus Ibu di Brebes bukan pertama kali terjadi, tahun seorang Ibu di Bandung melakukan hal yang sama), menurut profesor konseling kesehatan mental Melinda Paige, Ph.D Argosy University Atlanta, karena perasaan terisolasi, kurang interaksi sosial, terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah, kehilangan identitas dan tujuan hidup.
Terlalu fokus mengerjakan pekerjaan rumah hingga abai pada diri sendiri, ditambah jika ada masalah dalam keluarga tidak punya tempat berbagi untuk mencari solusi malah disudutkan-disalahkan.
Melakukan hobi, mencari celah cuan salah satu yang membuat saya bahagia |
Kejadian ibu di Brebes membuat saya teringat bagaimana sebuah masalah bisa begitu membuat fisik dan mental sakit, rasa putus asa, bingung, sakit kepala hebat, jantung berdebar tak karuan, ingin meluapkan kemarahan tapi ga bisa, mau nangis tapi ya ga bisa juga karena tidak sedih, serba salah dan putus asa.
Memendam masalah membuat fisik dan mental sakit
Saya pernah di posisi itu bertahun lalu. Sakit
kepala berhari-hari, dada sesak nahan marah, mau membicarakan sama suami, tidak
enak hati, bercerita pada orangtua
tidak berani karena pasti akan menjadi beban pikiran mereka, cerita kepada teman?
Belum tentu paham situasi yang saya hadapi, takut dihakimi. Saya
tidak bisa membicarakan masalahnya secara detail di sini karena menyangkut privasi keluarga, tapi ada teman yang pernah saya curhati jadi kalau membaca tulisan ini paham.
Satu hari, dua hari, seminggu, sebulan saya
masih tahan walaupun kepala makin sakit hingga demam. Saya harus melakukan sesuatu,
pikir saya waktu itu. Saya mau dan harus tetap waras. Saya memikirkan anak-anak. Saya tidak mau hidup saya berakhir menyedihkan, saya tidak mau kalah, saya harus memuntahkan segala sumpah serapah atas
kemarahan dan kekesalan yang selama ini berkecamuk dalam pikiran.
Akhirnya saya menelpon adik perempuan, menumpahkan uneg-uneg plus sumpah serapah.
Adik saya diam tidak menyela, dia paham Kakaknya butuh kuping.
Diakhir percakapan adik saya hanya bilang,”Sabar
Teh, ya gimana lagi, kita hidup di dunia bukan di surga, pasti ada masalah.
Saya juga ada masalah, bedanya teteh A, saya B.”
Menelpon Adik memang tidak menyelesaikan
masalah tapi rasanya plong telah meluapkan semua yang selama ini mengganjal
terlebih setelah, adik saya WA, menanyakan
kabar dan menyarankan membicarakan pada suami. Saya menuruti saran Adik, mengutarakan pada suami, dia mengerti yang
saya rasakan, hati saya bertambah lega walaupun masalah belum ada solusi.
Beruntung saya menemukan orang yang bisa diajak bicara dan mau mendengarkan tanpa menghakimi, hingga tidak kehilangan kontrol. Oh ya jika ada yang bertanya apa selama
itu saya tidak berdoa? Tentu saja saya berdoa, Alhamdulillah sholat tidak
pernah kelewat tapi tetap rasanya berat sebelum membicarakan masalah sama
seseorang. Kadang tenang untuk beberapa hari, minggu berikutnya mumet lagi. Apa
sekarang masalah yang saya hadapi selesai? Tidak 100% selesai, selain masalah
hidup lain di luar masalah itu.
Bisa dibayangkan seorang Ibu yang menahan beban berat selama bertahun-tahun. Beban yang kemudian membuatnya sakit kepala hebat, dada berdebar, putus asa, bingung, merasa bersalah dan tidak berguna, mudah marah sama anak lalu meledak menjadi depresi berat yang membuat kehilangan kesadaran.
Berhenti menjadi sosok sempurna
Saya percaya, setiap orang punya cara
melampiaskan perasaannya, entah dengan ngomel, menangis, mengeluarkan sumpah
serapah, melawan secara prontal alias berantem, curhat dengan orang terpercaya
atau curhat di medsos (ini memang ga bagus ya, tapi jika ada teman yang seperti
itu, maklumi saja mungkin itu caranya untuk menjadi lega dan waras).
Saya bukan tipe perempuan yang jika dizalimi/disakiti menangis sedih dipojokan dengan nelangsa, sebaliknya saya tipe yang merasa harus
melawan, harus meluapkan emosi, kalau
perlu berantem berantem deh karena dengan cara itu rasanya jadi plong.
Iya tapi kan jadi ibu itu harus sabar dan
ikhlas, jadi istri harus manut suami, anggap mertua seperti ibu sendiri. Dalam
dunia nyata tidak semudah itu Fergusso! Jadi ada kalanya harus berhenti jadi
sosok sempurna. Ungkapkan perasaan dan uneg-uneg dengan cara yang membuat kita lega, jangan terlalu banyak mikir tidak enak hati,
karena itu yang menyebabkan memendam masalah dan bisa meledak sewaktu-waktu
menjadi depresi berat.
Berhenti membuat keadaan rumah rapih sempurna. Jangan merasa bersalah jika lebih sering beli masakan daripada masak sendiri.
Tetap bahagia walaupun saat memiliki masalah
Masalah/cobaan akan selalu beriringan dengan hidup
Saya teringat tausiyah seorang ustad saat
mengikuti majlis talim, setiap orang diberi cobaan, ada yang bermasalah dengan keuangan (ekonomi), ada
yang diberi masalah kesehatan (sakit), ada yang dicoba dengan anak, ada yang
diberi cobaan dengan mertua, ada yang diberi cobaan dengan suami/istri, Nabi
saja, orang yang dimuliakan Allah swt diberi cobaan. Tinggal bagaimana kita
bisa survive menghadapinya, ikhlas dan sabar.
Akh, tentu tidak mudah menjadi sabar dan ikhlas, sangat tidak mudah, saya merasakannya. Sampai sekarang pun saya belum bisa sabar terhadap masalah yang membuat sakit kepala hebat itu. Tapi life must go on…
Kalau akhirnya saya masih bisa tertawa,
bahagia, semangat menjalani hidup dan
membersamai anak-anak karena saya menemukan acara untuk menghadapinya. Yap
bukan solusi, karena solusi masalah biasanya bukan hal instan, kadang solusinya
waktu itu sendiri.
Lima hal berikut yang membuat saya bahagia walaupun
menghadapi cobaan hidup
Memiliki orang terpercaya untuk bercerita
Saya tidak bisa memendam masalah sendiri, seorang teman/saudara yang dicurhati mungkin tidak memberi solusi tapi dengan didengarkan tanpa menghakimi membuat saya merasa berharga dan tidak sendiri. Oh ya saya tidak curhat pada sembarang saudara atau teman tapi yang memang bisa dipercaya dan hanya teman perempuan
Hempaskan rasa ‘tidak enak hati’
Tidak enak hati kalau menolak, tidak enak hati
kalau tidak membantu, tidak enak hati kalau melawan dst. Bertahun-tahun
tindakan atau keputusan saya dibebani kata ‘tidak enak hati’ sampai akhirnya
memilih kata ‘bodo amat', tidak semua hal tentunya tapi yang berhubungan dengan
kesehatan jiwa raga. Karena yang tahu seberapa kuat bisa menghadapi masalah, saya.
Yang tahu kapan saya mulai merasa ga kuat, saya.
Kadang egois itu perlu
Bagi saya me time dan self reward itu perlu. Self reward atau menghadiahi diri sendiri membuat saya bahagia karena kebutuhan/keinginan pribadi terpenuhi. Tak perlu yang mahal, membeli buku, printilan dapur murah, jajan enak, sudah cukup.
Hah me time tiga hari ke Bandung sendiri? Tega banget ninggalin anak-anak dan suami. Pertama karena
anak saya udah bisa mandiri. Kedua, saya perlu dan butuh waktu meluangkan waktu
dengan orang tua. Ketiga, cara itu ternyata efektif membuat saya bahagia,
rasanya seperti habis di charge.
Membuat diri aktif dan produktif
Aktif mengembangkan kemampuan diri bisa jadi
imun dan merasa diri berharga. Kemampuan diri, hobi, atau melakukan sesuatu
yang disukai berbeda-beda untuk setiap orang, saya memilih menjadi blogger
karena suka menulis, aktif membuat konten di media sosial awalnya karena
tuntunan blog seiring waktu jadi suka. Tahun 2017 memulai wirausaha karena hobi
dan suka cuan heuheu.
Bergabung dikomunitas yang kita sukai bisa jadi cara mengembangkan kemampuan diri.
Uang memang tidak bisa membeli kebahagian, tapi pada banyak hal perlu uang untuk membahagiakan orang-orang yang kita sayangi.
Sebagai seorang muslim, saya berusaha selalu ingat dan percaya kandungan surat Al-Insyirah Ayat 5-6 :
"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
Menumbuhkan punggung dan hati yang kuat
Beberapa anak beruntung karena karena dibesarkan dari keluarga yang utuh dan memiliki rejeki lebih. Sisanya lebih beruntung lagi karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berjuang dan berusaha sendiri.
Saya termasuk anak yang beruntung dibesarkan
untuk memiliki punggung dan hati yang kuat. Kalau saya tengah merenung dan
sedikit berimajinasi, andai ada mesin waktu, masa yang saya pilih untuk
dikunjungi adalah masa kecil. Masa kecil saya sempurna, ditengah drama uang
sekolah nunggak, makan dadar dari satu butir telur dibagi 2, harus puas dengan
impian sekolah sampai smk lalu kerja (tanpa diduga bahkan tidak ada dalam
bayangan ibu saya, anak-anaknya bisa kuliah), beli pakaian baru setahun sekali
(lebaran) sisanya nunggu lungsuran saudara. Yap secara ekonomi kami kekurangan
tapi semangat juang dan kasih sayang Ibu yang membuat kami mengecap masa kecil
dengan bahagia. Dan sepertinya ini yang membuat kami tumbuh memiliki punggung
dan hati kuat untuk berjuang dan survive menghadapi masalah.
Pengasuhan masa kecil ternyata
berpengaruh cukup besar. Ini jadi pelajaran untuk saya bagaimana membuat masa
kecil anak-anak bahagia dengan kasih sayang tanpa memanjakan mereka sebagaimana
ibu saya membesarkan kami.
Semangat menentukan bahagia Teman. Ibu bahagia, insyaallah keluarga bahagia, anak-anak sehat lahir batin.
Tidak ada komentar