Walaupun memegang kartu BPJS kesehatan saya
belum pernah menggunakannya, bukan, bukan karena enggan menggunakan tapi karena
faskes yang tertera di kartu BPJS saya sekeluarga adalah puskesmas di Jakarta Timur sedangkan saya
tinggal di Kab. Bogor. Saat didaftarkan BPJS oleh kantor suami alamat kami memang
masih alamat Jakarta. Awalnya saya bingung, masa iya kalau mau menggunakan BPJS
harus berobat ke Jakarta lalu saya bertanya pada teman gimana caranya ganti faskes.
Ternyata mudah bisa dilakukan secara online. Tinggal download aplikasinya,
login dan di sana ada pilihan ganti faskes. Tapi sampai saat ini saya belum
ganti faskes karena agak bingung dan butuh saran, ada dua pilihan faskes yang
membuat saya bingung, puskesmas atau klinik? Di klinik yang tidak jauh dari
rumah ada praktik dokter gigi juga jadi
terbilang komplit. Ada saran?
Sejujurnya saya bersyukur saat
ini ada program asuransi kesehatan yang menyeluruh untuk seluruh masyarakat
dari pemerintah. Kenapa? Karena saat memutuskan resign salah satu hal yang
membuat saya galau adalah jadi tidak memiliki tabungan anggaran tak terduga
untuk orangtua. Maklum orangtua saya wirausaha tidak memiliki pensiunan apalagi
asuransi kesehatan jadi jika ada apa-apa kami anak-anaknya yang harus bahu
membahu. Kami tidak keberatan tapi terasa beratnya saat saya memutusan resign,
gimana ya kalau ada apa-apa sama Ibu Bapak sedangkan gaji rutin tidak ada.
Namanya freelancer jumlahnya tidak tentu dan dapat uangnya pun tidak tentu
tanggalnya. Alhamdulillah kedua orangtua saya tidak memiliki riwayat penyakit serius namun
tetap ada kekhawatiran karena umumnya seiring usia, saat fungsi tubuh menurun,
penyakit tak terduga bisa datang secara tak terduga juga. Tentu saja kami kerap
berdoa semoga mereka diberikan kesehatan dan keberkahan umur hingga tutup usia.
Tapi takdir sakit hanya Allah swt yang tahu.
Jadi saat mendengar ada program
BPJS saya langsung mencari tahu dan langsung menyarankan Ibu Bapak mendaftar,
soal pembayaran kami (anak – anaknya) yang menanggung. Awalnya Ibu saya ragu,
katanya buat apa, “Da Mamah jeung Bapak mah sehat.”
“Buat jaga – jaga aja, syukur –
syukur BPJS nya tidak terpakai, apa yang dibayar diikhlaskan buat sedekah membantu
yang lain.”
Di jawab seperti itu mata Ibu berbinar. Mungkin dia lega karena maksud kami
mendaftarannya BPJS bukan berharap beliau sakit.
Ada satu kejadian lucu sekaligus
miris saat untuk pertama kalinya Ibu saya menggunakan BPJS sekitar 3 tahun
lalu, saat pendaftaran BPJS belum bisa online seperti saat ini.
Ibu mengeluh sakit dibagian
tangannya, dugaan sementara kalau tidak asam urat, kolesterol. Ibu di rujuk ke
dokter spesialis di RS Hasan Sadikin Bandung. saat mendaftar Ibu mendapat nomor
antrian 300. Dari pagi hingga sore Ibu ngantri baru nomor 100 an. Besoknya ibu
ngantri lagi dan masih belum dipanggil. Begitu praktik dokter selesai dan belum
sempat Ibu bertanya kapan gilirannya, perawat mengumumkan jika besok dokter
akan cuti, jadi minggu depan saat dokter Pratek, daftar dari awal lagi.
Ibu saya merasa handeul kalau istilah Indonesianya
serupa gondok. Kami yang mendengar ceritanya pun super kesal. Sejak itu untuk
rawat jalan, periksa keluhan sakit biasa, kami tidak menyarankan Ibu dan Bapak
menggunakan BPJS karena kasian jika harus mengantri lama.
Saya mungkin belum merasakan
manfaat BPJS tapi sering mendengar cerita saudara, kerabat atau tetangga
bagaimana BPJS sangat membantu biaya rumah sakit.
Kabar BPJS yang merugi (saya baca
baru – baru ini beritanya) atau rumah sakit yang untuk sementara tidak menerima
pasien BPJS karena biaya sebelumnya belum dilunasi BPJS memang agak membuat
sedih tapi semoga pemerintah menemukan jalan keluarnya. Dan semoga makin
banyak masyarakat yang sadar pentingnya
ikut BPJS karena masih ada lho (saya pernah baca di medsos) orang yang
menyinyiri keberadaan BPJS.
Ngiringan BJPS sami sareng rereongan
ngabantos – ikut BPJS sama dengan patungan saling bantu.
Tidak ada komentar