Seperti biasa, selesai acara inti yaitu
menentukan pemenang arisan dengan cara mengocok sejumlah kertas bernama dalam
toples, di lanjutkan dengan makan dan ngobrol kesana kemari. Rutinitas tiga
bulanan gagasan Mamak dan sudah berjalan hampir dua tahun, arisan keluarga.
Dimana keluarga besar suaminya berkumpul.
“Kudengar kau baru dari Singapura, Sam?”
mendengar pertanyaan itu aku hampir tersedak. Kulirik Sam yang duduk di
sampingku, sebaliknya tak kudapati keterkejutan di wajahnya.
“Ya, biasalah tugas kantor.” Sam meraih
potongan bika ambon di piring dan menggigitnya.
“Akh, bukan itu, yang kudengar kalian
mencoba program bayi tabung di sana.” Dengan ujung mata, aku menangkap keterkejutan
di wajah Sam yang dengan cepat di sembunyikannya dengan sebuah senyum.”Ya, jadi
sekalian mumpung di sana.”
Akh...akh kenapa semua orang jadi tahu,
kami kira hanya Mamak yang tahu ternyata seluruh keluarga besar. Aku mencomot
potongan brownies dan menjejalkannya ke mulut, terlebih untuk menutupi rasa
gelisah yang mungkin terlihat di wajah atau gesture tubuhku.
Beberapa ipar dan sepupu menoleh mendengar
percakapan yang memancing keingintahuan mereka yang lebih besar. Ada yang
nimbrung dengan sok akrab.
“Bukannya waktu itu sudah mencoba di rumah
sakit Jakarta?” tanya sebuah suara.
Mendadak kepalaku pening. Tak ingin
menjawab dan tahu siapa yang bertanya. Kuteguk air mineral walaupun perut sudah
terasa penuh. Aku mencoba mengingat-ngingat setiap percakapan saat bertemu Maria, sepupu Sam, kemarin dan rasanya tidak ada satu topik
pembicaraan pun yang menyerempet-nyerempet soal beragam terapi yang sudah atau
sedang kulakukan.
“Uang tak ada artinya tanpa memiliki anak,
tenang saja Nesh, pasti Tuhan akan mengganti dengan rejeki yang lebih besar.”
Alina menepuk-nepuk pundakku.
“Berarti tahun depan kita punya keponakan
baru.” Komentar yang membuat aku tercekat untuk beberapa detik sebelum akhirnya
memaksakan sebuah senyum terukir di bibir.
“Doakan saja.” Sam menjawab dengan
diplomatis.
“Semoga laki-laki,” kata bang Josh dengan
mata berbinar.
Akh, tentu saja bukan sekedar seorang
anak, sangat di harapkan anak laki-laki agar bisa mewariskan sebuah nama marga.
Sebuah tangan melingkar di bahuku di susul
bisikan,”Selamat ya, Nesh. Tak sabar aku menggendong keponakan baru.” Maria
tersenyum tulus. Tiba-tiba kurasakan seluruh tubuh seperti kehilangan tulang penyangganya.
Lemas dan luruh. Ingatanku terseret peristiwa sebulan lalu, setelah kepulangan
dari Singapura, janinku meluruh. Program bayi tabung kami gagal lagi.
Noted :
350 kata
wow, flash backnya keren, dan ceritanya juga runtut sekali, sukses Mba :D
BalasHapusInnalilahi, sedih banget pastinya ya saat semua orang mengucapkan selamat
BalasHapusCakep mbak...
BalasHapusTwistnya dapet :)
sungguh..!!
HapusMakasih, Mak, sudah ikutan :D
BalasHapus