Saat ini, usiaku menginjak masa kawin (begitu kata ibuku) dan belum sekalipun aku bertemu bapakku. Walaupun begitu aku memiliki gambaran yang cukup jelas tentang bapakku dan aku yakin gambaran yang ada di benakku tentang bapak adalah yang sebenarnya karena ibu kerap menceritakannya. Dulu, sewaktu aku masih kecil.
Bapak pergi jauh begitu selalu
kata ibu. Dan sejak bapak pergi ibu memutuskan ‘kembali perawan’. Begitu kata salah satu kerabatku. Ya, ibu
memang tidak pernah mengindahkan lawan jenis mendekatinya. Tak heran beberapa
menyebut ibuku ponggah. Ibu cantik dan sintal. Walaupun usianya kini sudah
menua, garis kecantikan dan keanggunan itu terpancar jelas di wajahnya. Sayang
ibuku tak pernah tersenyum karena hatinya telah beku. Dibekukan bapakku.
Aku membenci bapakku walaupun
tidak pernah mengenalnya. Sama seperti halnya aku membenci kebodohan ibu yang
mencintai bapakku dengan harga mati.
Tapi cinta adalah misteri, begitu
kata nenekku.
Dan sejak aku memasuki masa
kawin, ibu seperti menjauh dariku. Ibu makin sering menghabiskan
waktu di bawah pohon akasia yang tak
jauh dari tempat tinggal kami. Ibu duduk di sana sejak pohon itu baru di tanam
hingga kini sudah rimbun dan besar. Pohon
itu menjadi milik ibu. Ya, tidak ada yang berani mendekat jika ibu tengah duduk
termenung di sana termasuk aku.
“Ibumu takut kau bertemu bapakmu,
Nduk,” ujar nenek kemarin malam.
“Memang kenapa?” nenek terdiam,
menatapku lurus lalu menghela nafas sebelum akhirnya berkata,”Kelak kau akan
mengerti.”
Siang itu panas matahari tidak terlalu terik,
tapi kerongkonganku terasa kering. Aku berjalan ke arah sungai yang mengitari
lahan tempat kami tinggal. Sebenarnya aku
tidak terlalu suka pergi ke sungai saat siang hari, karena bising kendaraan
bermotor membuat kepalaku berdenyut kesakitan, pusing. Tapi rasa haus membuat
aku mengurungkan niat untuk menundanya hingga matahari tenggelam.
Aku melewati batang pohon di mana
ibu selalu duduk di sana dan dia memang tengah duduk di sana dengan mata
terpejam. Rupanya ibu tertidur, pikirku.
Aku meneruskan langkah dan
terhenti karena geraman halus nan dalam. Seluruh tubuhku kurasakan bergetar dan
seolah ada aliran listrik merayap berlahan, dari kaki hingga kepala, saat
mataku bersitatap dengan si pemilik suara. Pejantan paling tampan yang pernah
kulihat. Berdiri dengan gagah di hadapanku, tak tersenyum namun tatapannya
menyiratkan seribu pesan yang kupahami dengan naluriku. Tanduknya sempurna
tanpa cacat dengan warna dan ukuran yang menandakan berapa umur pemiliknya.
Naluriku berkata, dialah pejantan pertama yang akan mengawiniku dan dia adalah
bapakku.
Dengan sudut mata, kulihat ibu
menatap kami.
*jadi ini ceritanya rusa bukan manusia ya ;p
inspirasi tulisan rusa di kebun raya bogor yang tertangkap kamera ;p |
hiiyyy... serem bacanya... :D
BalasHapusih pan rusa wkwkwk
Hapuskalau semisal terjadi pada orang, mirip2 kasus kriminal yang suka muncul di media ya, Mba.
BalasHapusTapi, meski pada binatang, tetap saja gak boleee. :D
emang iya gak boleh sama binatang mba...saya pernah punya ayam, jagonya satu (bapaknya) , anak- anaknya beranak pinak dan bertelur sama bapaknya juga
Hapusmihihihihi....rusa sintal jg ternyata ya Rin :)
BalasHapusjadi bapak dan calon suami sama ya :)
BalasHapusrusa sintal... hahahhaa, ngakak baca kata-kata itu.
BalasHapusMakasih ya, Mak, udah ikutan ^^
Ihiyyy.. akhirnya nulis FlashFiction juga ~~~\o/