Tampilkan postingan dengan label seminar. Tampilkan semua postingan

Mendampingi Tumbuh Kembang si Kecil agar Optimal

menyimak uraian para pakar
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti sebuah sesi parenting dengan nara sumber Psikolog Ratih Ibrahim, dokter spesialis anak Soedjatmiko dan dokter spesialis gizi klinik Fiastuti Witjaksono dengan tema perkembangan anak. 

Tema yang pas untuk saya sebagai mama dari putra putri berumur enam dan dua tahun setengah.



Investasi waktu, hati, tenaga dan pikiran untuk si kecil
Point yang menarik sekaligus menjadi reminder untuk saya adalah mengenai investasi waktu, hati, tenaga dan pikiran untuk anak, gagasan Ratih Ibrahim.

Pilihan kata investasi sendiri bukan tanpa alasan lho, ini menegaskan bahwa betapa berharganya waktu yang orangtua gunakan bersama si kecil. Investasi waktu, hati, tenaga dan pikiran untuk anak sama dengan investasi untuk tumbuh kembang yang optimal.

Marketing dan Kemasan


Oleh-oleh seminar wanita wirausaha femina 2013 (part 1)

Tgl 2 februari 2013 lalu saya mengikuti seminar wanita wirausaha femina, hadir bukan sebagai wanita pengusaha tapi wanita yang ingin memiliki wirausaha. Salah satu materi yang diberikan adalah mengenai kemasan, dengan pemateri Dody Achmad Sagir, seorang dosen FRSD ITB.


Mengutif kata-kata kang* Dody, kemasan (sebuah produk) adalah pengantar cerita. Cerita bagus penjualan bagus. Kita harus tahu benar cerita produk yang akan dikemas sebelum mulai mendesain. Jika tidak, kita hanya akan membuat kemasan yang (mungkin) lucu, menarik, seru tapi bukan desain yang baik dan tepat.


Kemasan akan mewakili dalam mengkomunikasikan keunikan (produk) kepada calon konsumen. Karena kemasan memegang peranan penting dalam strategi marketing.


foto dgn bob merdeka, founder and ourner ma icih

Nah, karena saya suka baca n menulis, kesimpulan yang saya dapat mengenai pentingnya kemasan saya disambungin sama cover, desain dan ilustarasi sebuah tulisan atau buku. Di seminar itu kang Dody gak sama sekali ngebahas ini lho, jadi kalau ada kesalahan pada tulisan di paragraf selanjutnya itu kesalahan saya.  

Bagi saya ngomongin buku gak bisa lepas dari desain cover selain isi dan penulisnya. Cover buku sama dengan kemasan seperti yang dibilang kang Dody, sebagai pengantar cerita. Jika penulisnya sudah terkenal biasanya orang tidak terlalu memperhatikan bagus tidaknya cover tapi untuk penulis baru, dengan tingkat popularitas biasa, cover buku menjadi sangat penting seperti halnya endorsment (saya termasuk yang pernah ketipu dengan endorsment – isi buku ternyata tidak sebagus endorsment yang ditulis)


Cover buku simple yang mengingatkan tapi eye catching, membuat penasaran tapi belum tergerak untuk membeli baru setelah baca review dan ide ‘tiger mom’ nya jadi headline sebuah sebuah majalah karena dinilai kontroversial, saya merasa harus membeli buku ini. Dan isinya, inspiratif walaupun tidak semua hal dalam buku ini bisa diterapkan. Review buku bisa diintip disini.


Ini buku yang awal tahun saya beli dan baca, covernya jelek menurut selera saya tapi karena buku ini masuk nominasi 10 dari buku khatulistiwa literari award (KLA) dengan penulis yang cukup ternama saya merasa harus membacanya. Ehm, buku yang cukup memacu adrenalin, berisi, dengan thema yang di gusung berbeda dengan buku-buku Tere Liye sebelumnya yang melow – belum sempat direview. 


 Tahu donk buku ini, masuk dalam list 1000 buku yang wajib dibaca sebelum mati. Covernya cukup vulgar tapi isinya tidak. Cukup tebal jadi jika tak punya waktu membacanya, nonton saja filmnya, di jamin membuat kesan, pengen nonton lagi dan mewek. Kalau membaca kita bakal dibuat kagum dengan penulis dalam menciptakan tokoh – tokoh utamanya, karakternya kuat . Margaret Mitchell pandai dalam menggambar karakter tokoh dari dialog, deskripsi bahasa tubuh dan gesture)

Tambahan lain dari kang Dody, bedakan kemasan (cover buku bagi saya, dengan desain baru (bentuk dan warna). Jadi ingat cover buku salah satu buku Dewi Lestari (dee) seri supernova.



Bukan hanya buku tulisan pun perlu 'kemasan', dengan foto atau ilustrasi agar orang tertarik membaca dan tidak membosankan ketika dibaca. itu sebabnya kehadiran gambar/foto disarankan pada postingan blog.

Cover buku saya mana ya? hehe belum punya buku, semoga suatu saat.



*hehe bukannya sok akrab sama kang Dody nich (padahal gak kenal) karena kalau di panggil pak terlalu muda, kalau bicara logatna  sunda pisan .


Next posting Media Sosial dan Marketing pemateri Yoswohady

oleh-oleh miniworkshop parenting : Bicara Efektif pada Anak



Beautiful mind is learning parent. kata itu menurut saya cukup mewakili inti dari miniworshop yang diadakan majalah ayahbunda di café Kintamani Bogor siang tadi dengan narasumber Alex Sriwijoeno seorang psikolog dan inspiring speaker.  Yap, saya merasa dicubit, disindir bahkan di tampar dengan materi yang diuraikan pembicara. Apa yang selama ini saya ‘komunikasikan’ dengan si kecil ternyata banyak salahnya. Dan bukan tidak mungkin kesalahan-kesalahn yang saya buat tanpa saya sadari (karena tidak tahu ilmunya) ini berkontribusi  negative pada  pembentukan karakter, pribadi dan pola pikirnya. Contoh sederhananya adalah, saya lebih banyak memposisikan diri sebagai orang tua ketika berbicara/mengkomunikasikan sesuatu dengan anak. Misal, soal disiplin yang saya terapkan pada si kecil perihal gosok gigi dan bersih2 sebelum tidur atau lamanya menonton. disiplin yang saya ajarkan dan terapkan Alhamdulillah berhasil. Sudah hampir satu tahun saya tidak perlu ‘bersitegang’ dengan si kecil Azka ketika memintanya menggosok gigi sebelum tidur (bahkan jika saya lupa dia yang mengingatkan). Tapi cara saya ketika pertama kali menerapkan disiplin salah. Saya memaksa kadang degan nada tinggi. Atau dengan penekanan, “Azka harus nurut sama mama”. Atau bahkan ancaman, gak diajak jalan-jalan lah dsb. 

Bahkan jarnag terpikirkan oleh saya untuk memposisikan tubuh untuk selalu sejajar dengannya saat bicara. Hanya saat si kecil sedih saja saya biasanya bicara sambil berlutut agar mata kami sejajar.
Padahal pilihan kata-kata manis, positif  atau pikiran jernih (beautiful mind) akan membentuk anak jadi memiliki pikiran yang jernih juga dan ini tentu berpengaruh pada cara berpikir dan sikapnya kelak. Ya, karena mereka adalah copycat kita, orang tuanya.


Sebagai orang tua kadang saya merasa tidak perlu menjelaskan panjang lebar pada anak karena merasa dia belum menngerti atau sebaliknya saya merasa tidak perlu mendengar alasan dia kenapa tidak suka sayuran? Tapi menekankan harus suka sayuran karena bla…bla…bla…

Saya mengaku dan dengan bangga berkata, sayang anak tapi saya masih keberatan dan mendesah kesal ketika hendak berangkat kerja (dengan pakaian dan jilbab sudah rapih) tiba-tiba si kecil berteriak mau pup dan minta dicebokin mama. 

Akh, ternyata saya masih jauh dari smart mom. Masih harus terus belajar dan belajar. Menjadi mama ternyata proses belajar tanpa henti.

Pro Kontra Imunisasi

Soal pro dan kontra imunisasi bukan hal baru ternyata (saat awal-awal jadi mom merasa ini isu baru). Berawal dari sebuah pamplet, sekitar dua tahun yang lalu saya dan suami ikut seminar kontra imunisasi. Keluar dari ruang seminar kami dibuat ragu dan limbung dengan imunisasi yang sudah diberikan pada si kecil dan yang akan diberikan (waktu itu si kecil Azka berumur 1 tahun lebih). Soal kehalalannya, motif politik dan ekonomi di balik vaksin dan efek negatif yang mungkin timbul. Namun dibalik keraguan diimunisasi saya khawatir terjadi apa-apa dengan si kecil jika tidak diimunisasi salah satu sebabnya mungkin karena kami sekeluarga (kelg saya dan suami) adalah produk imunisasi. Saya teringat cerita mama yang harus berjalan cukup jauh (waktu itu kami tinggal di sebuah kota kabupaten) untuk bisa mengimunisasi kami di sebuah puskesmas. Sedikit mata kuliah  biologi dan mikrobiologi di bangku kuliah membuat saya pun mengerti kerja vaksin imunisasi dan bagaimana mendapatkannya.

Dengan berjalannya waktu (terhitung setelah mengikuti seminar kontra imunisasi) keraguan saya terhadap beragam argument kontra imunisasi menguap dalam arti saya menyerahkannya pada yang kuasa. Ini hanya bentuk usaha saya sebagai orang tua melindungi anaknya karena jika berharap dari kekebalan tubuhnya sendiri saya khawatir terlebih ada masanya si kecil susah makan dan pilih-pilih makanan.

Satu tahun berselang saya ikut seminar soal (pro) imunisasi yang diadakan sebuah majalah berthema parenting. Ini  mengusir kekhawatiran saya soal imunisasi untuk si kecil karena faktanya tidak semenyeramkan yang disodorkan golongan yang kontra imunisasi. Ok memang ada efeknya negatifnya yang disebut dengan istilah KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) seperti demam dsb tapi untuk efek negative yang fatal perbandingannya sangat kecil.


Di acara seminar itu diceritakan juga mengenai daerah di beberapa kota kecil yang sebagian besar warganya menolak mengimunisasi anaknya dengan alasan tidak halal dan berefek negative (persis argument yang dilontarkan pasa seminar kontra imunisasi), sementara pengetahuan sebagian besar warga masyarakat kota-kota kecil ini soal gizi, ketahanan tubuh anak dan kebersihan minim. Akibatnya tercatat lebih dari 5 anak terserang wabah polio. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab? Bagaimana masa depan anak-anak ini?
Nah, sedikit bicara soal  motif politik atau ekonomi yang selama ini dijadikan bahasan di kalangan yang kontra, saya jadi teringat banyak produk yang kita konsumsi tidak lepas  dari motif itu;   produk obat lain, makanan, minuman, film, fashion…yang banyak diimport dari luar dan kita kadang merasa bangga menggunakannya bahkan merasa itu jadi produk lokal karena pabriknya ada disini.
Soal kehalalan, fatwa mui sudah menghalalkan, dimana tentunya keputusan itu sudah diambil dengan ‘ilmu’ yang mereka miliki. 

Dari kedua seminar yang saya ikuti itu, saya merasa lebih bisa bijak menilai berbagai argument yang pro maupun yang  kontra imunisasi.  

Menjaga kekebalan tubuh anak dengan makanan bergizi, memelihara kebersihan adalah hal penting dan  tentunya yang tak kalah penting berdoa untuk kesehatan dan kebaikannya, bismillah.

Ingin tahu lebih banyak soal pro kontra imunisasi coba  link ini  muslim.co.id