Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

Bayi #FF

Seperti biasa, selesai acara inti yaitu menentukan pemenang arisan dengan cara mengocok sejumlah kertas bernama dalam toples, di lanjutkan dengan makan dan ngobrol kesana kemari. Rutinitas tiga bulanan gagasan Mamak dan sudah berjalan hampir dua tahun, arisan keluarga. Dimana keluarga besar suaminya berkumpul.

“Kudengar kau baru dari Singapura, Sam?” mendengar pertanyaan itu aku hampir tersedak. Kulirik Sam yang duduk di sampingku, sebaliknya tak kudapati keterkejutan di wajahnya.

“Ya, biasalah tugas kantor.” Sam meraih potongan bika ambon di piring dan menggigitnya.
“Akh, bukan itu, yang kudengar kalian mencoba program bayi tabung di sana.” Dengan ujung mata, aku menangkap keterkejutan di wajah Sam yang dengan cepat di sembunyikannya dengan sebuah senyum.”Ya, jadi sekalian mumpung di sana.”

Femina no 26 terbit 28 Juni -04 Juli 2014

Akhirnya tulisan fiksi saya tembus Femina, walaupun bukan cerpen pertama yang dimuat di media massa tapi dimuat di Femina itu sesuatu ya...mungkin saking sering ditolaknya  jadi terasa istimewa ;p.
Kirim cerpen ke femina; panjang tulisan 1200 karakter, ke kontak@femina.co.id, oh ya tema dan karakter tokohnya jangan cengeng ya



Dan ternyata tayang juga di web nya Femina (setelah 2 bulan terbit edisi cetaknya) berikut linknya http://www.femina.co.id/waktu.senggang/fiksi/sahabat.lama/006/001/921

Masa Kawin

Kali pertama nulis FF, karena tergiur hadiahnya  buku gratisan suka bikin ngiler hehehe. Yap, FF untuk kuisnya mak  RedCarra

Saat ini, usiaku menginjak masa kawin (begitu kata ibuku) dan belum sekalipun aku bertemu bapakku. Walaupun begitu aku memiliki gambaran yang cukup jelas tentang bapakku dan aku yakin gambaran yang ada di benakku tentang bapak  adalah  yang sebenarnya karena ibu kerap menceritakannya. Dulu, sewaktu aku masih kecil.

Bapak pergi jauh begitu selalu kata ibu. Dan sejak bapak pergi ibu memutuskan ‘kembali perawan’.  Begitu kata salah satu kerabatku. Ya, ibu memang tidak pernah mengindahkan lawan jenis mendekatinya. Tak heran beberapa menyebut ibuku ponggah. Ibu cantik dan sintal. Walaupun usianya kini sudah menua, garis kecantikan dan keanggunan itu terpancar jelas di wajahnya. Sayang ibuku tak pernah tersenyum karena hatinya telah beku. Dibekukan bapakku.

Aku membenci bapakku walaupun tidak pernah mengenalnya. Sama seperti halnya aku membenci kebodohan ibu yang mencintai bapakku dengan harga mati.

Tapi cinta adalah misteri, begitu kata nenekku.

Dan sejak aku memasuki masa kawin, ibu seperti menjauh dariku. Ibu makin sering menghabiskan waktu di bawah pohon akasia  yang tak jauh dari tempat tinggal kami. Ibu duduk di sana sejak pohon itu baru di tanam hingga kini sudah rimbun dan besar.  Pohon itu menjadi milik ibu. Ya, tidak ada yang berani mendekat jika ibu tengah duduk termenung di sana termasuk aku.

“Ibumu takut kau bertemu bapakmu, Nduk,” ujar nenek kemarin malam.
“Memang kenapa?” nenek terdiam, menatapku lurus lalu menghela nafas sebelum akhirnya berkata,”Kelak kau akan mengerti.”

Siang itu panas matahari tidak terlalu terik, tapi kerongkonganku terasa kering. Aku berjalan ke arah sungai yang mengitari lahan tempat kami tinggal.  Sebenarnya aku tidak terlalu suka pergi ke sungai saat siang hari, karena bising kendaraan bermotor membuat kepalaku berdenyut kesakitan, pusing. Tapi rasa haus membuat aku mengurungkan niat untuk menundanya hingga matahari tenggelam.

Aku melewati batang pohon di mana ibu selalu duduk di sana dan dia memang tengah duduk di sana dengan mata terpejam. Rupanya ibu tertidur, pikirku.

Aku meneruskan langkah dan terhenti karena geraman halus nan dalam. Seluruh tubuhku kurasakan bergetar dan seolah ada aliran listrik merayap berlahan, dari kaki hingga kepala, saat mataku bersitatap dengan si pemilik suara. Pejantan paling tampan yang pernah kulihat. Berdiri dengan gagah di hadapanku, tak tersenyum namun tatapannya menyiratkan seribu pesan yang kupahami dengan naluriku. Tanduknya sempurna tanpa cacat dengan warna dan ukuran yang menandakan berapa umur pemiliknya. Naluriku berkata, dialah pejantan pertama yang akan mengawiniku dan dia adalah bapakku.

Dengan sudut mata, kulihat ibu menatap kami.


*jadi ini ceritanya rusa bukan manusia ya ;p
inspirasi tulisan rusa di kebun raya bogor yang tertangkap kamera ;p





*381 kata


Fiksi Kedua

Tulisan fiksi yang kedua kalinya dimuat sekitar 10 tahun lalu, fiksi pertama dimuat di majalah Kawanku dan majalahnya hilang hikhiks



Tulisan di Tolak, di Buang Sayang....


Bagi saya menerima email penolakan atas tulisan yang saya kirim itu biasa yang luar biasa ya dimuat heheh. Tapi masih mending menerima surat penolakan, lebih seringnya tanpa kabar walaupun sudah kita email menanyakan kemungkinan dimuat atau tidak. Ada juga penolakan secara halus, ‘....tunggu 4 bulan untuk mengetahui kabar dimuat atau tidaknya tulisan’. Tapi tunggu punya tunggu sampai lebih dari 4 bulan tidak ada kabar berita.
Atau jawaban seperti ini; ‘naskah di tampung, kami belum memiliki rencana kapan dimuatnya’. Kalau ini jawaban yang menggantungkan harapan. Jadi berharap-harap cemas.

Sempat menyerah untuk kirim tulisan ke media tapi sayang kalau hanya numpuk di file laptop atau mejeng di blog. Jadi ya nothing to lose lah kalau kirim ke media.

Banyaknya tolakan membuat saya belajar banyak, salah satunya, tidak selalu tulisan yang ditolak karena tulisan kita jelek. Bisa jadi tulisan yang kita buat tidak sesuai dengan segmen pembaca media yang kita kirim. Tulisan yang sesuai dengan segmen pembaca media yang kita sasar, dari segi thema dan gaya  bahasa punya lebih besar peluang untuk dimuat, artinya ditolak satu media belum tentu di tolak media lain. 

Yang saya lakukan kalau tulisan saya ditolak, dibaca ulang dan direvisi, lalu dicoba kirim ke media lain, media non komersil (tanpa honor) adalah alternatif terakhir –ketahuan dech matrenya hehehe.

Salah satu contohnya cerpen saya yang dimuat di majalah Noor bulan April ini adalah naskah yang ditolak media lain.



So, keep writing  dan nikmati manisnya honor :D