Ini adalah tulisan saya yang dimuat di majalah Ummi di rubrik nuansa perempuan edisi november 2012.
Sama seperti mama lainnya, komitmen saya bekerja tidak boleh melunturkan kelekatan saya
dengan anak-anak. Saya dan Abinya (panggilan kaka Azka Zahra dan Khalif untuk
papanya) harus jadi role model untuk mereka dan
kami harus membentuk karakter mereka.
Salah satu
kebiasaan yang kami lakukan untuk membuat kelekatan itu adalah menyiapkan sarapan
dengan melibatkan Azka. Azka akan mengikuti langkah saya ke dapur dan menawarkan diri
membantu menyiapkan sarapan. Tawaran yang tidak bisa saya tolak dan harus
bersiap dengan kesabaran ekstra. Bersiap dengan tumpahan susu, karena Azka
selalu meminta membuatkan susu untuk saya dan Abinya. Memarut keju untuk roti,
menaburkan meses – yang lebih seringnya tertabur di lantai –tapi hal seperti
ini yang saya pikir mempererat bonding kami. Pagi hari tanpa suara tv yang
menginterupsi. Lalu saya mengajak Azka
berkeliling satu blok dengan sepeda motor dan kami berpelukan sebelum
berpisah.”Hati-hati di jalan ya, Ma,”
pesan itu selalu membuat saya haru.
Kalimat itu akan diulangnya dengan setengah berteriak sampai saya hilang di
belokan dan tak terlihat lagi olehnya.
Jika
di rumah seluruh waktu dan perhatian kami untuk mereka. Saat libur sabtu minggu atau tanggal merah
adalah saat yang kami tunggu-tunggu. Azka pun kerap bertanya,”Mama hari sabtu minggu libur ya? Ini hari apa? Segini
lagi (Azka mengacungkan beberapa jari tangan) liburnya ya?” Walaupun untuk itu, kami, saya dan suami, harus menunggu mereka tidur untuk bisa menikmat waktu
berdua, leyeh-leyeh, me time bahkan
nonton.
Kelelahan itu terbayar, karena selalu ada
hal lucu, menggemaskan bahkan membuat kami tercengang dengan tingkah polah
mereka. ketidakhadiran saya di rumah
setiap saat membuat saya bukan orang pertama yang menyaksikan golden moment mereka, tapi keinginan
anak-anak untuk dengan sengaja menunjukkan kemampuan barunya di depan saya adalah hal yang luar biasa.
Seperti
saat Azka berusia 2 tahun (kini usia Azka 4y7m), yang tiba-tiba meletakkan
kedua telapak tangan mungilnya di pipi saya dan berkata,”Mama sayang?” belum
sempat saya mengangguk saya berkata,”Aska juga sayang mama.”
Suatu hari, sepulang kerja saya
di sambut dengan langkah tertatih-tatih Khalif (1y3m) tanpa berpegangan. Khalif
tersenyum lebar menatap saya. Yap, hari itu, tgl 10 januari 2013 adalah hari
pertama Khalif melangkahkan kakinya tanpa pegangan. Saya bukan orang pertama
yang menyaksikan tapi senyum lebar Khalif sambil menatap saya cukup menjadi
bukti bahwa dia ingin menunjukkan kemampuannya pada saya.
Tapi jujur saja, ada juga saat saya terlalu emosional dan
merasa bersalah dengan pilihan bekerja. Ingin memberikan mereka sesuatu yang
lebih seperti menghadiahinya
Azka
kue ulang tahun buatan sendiri. “Memang sempat? Memang bisa? Beli saja biar
praktis,” ujar suami.
Sempat tak sempat hanya
soal niat, toh bisa diakali dengan mengurangi jam tidur. Ehm, terakhir bikin
blackforest sekitar 8 tahun lalu, saat adik saya masih kuliah di perhotelan
saya jadi tangan kanannya setiap kali ada pesanan cake.
Kenapa saya bersikeras
ingin membuatnya sendiri? Karena saya ingin
memberinya dengan penuh cinta. Cinta bukan sekedar dari hati tapi
seluruh anggota badan saya. Menambahkan resep cinta dalam adonannya.
Alasan yang klise dan terlalu melankolis bukan? Saat
kecil saya pernah berkata dengan bangga pada teman-teman sekolah,”Ini donat buatan mamaku. Baguskan
pada coklat warna-warni kan? Enak lho.” Dan saya ingin Azka
melakukan hal yang sama.
Akhirnya saya begadang
untuk menyelesaikan cake blackforest dan hasilnya sungguh
diluar dugaan. Cake kurang mengembang dan cream siap
pakai yang saya beli cepat meleleh. Saya panik dan malu.
Suami membesarkan hati dengan tetap memasangkan lilin dan menyanyikan
lagu happy birtday untuk Azka. Untunglah Azka masih terlalu
kecil untuk mengerti kalau cake buatan mamanya ini sebenarnya
produk gagal. Dengan berat hati saya akui, tangan saya tak lagi luwes untuk
membuat cake yang memerlukan keterampilan tinggi.
Saya
tidak pandai membuat aneka kue atau masakan enak tapi bisa membuat mereka
menatap saya dengan antusias dan kagum saat mendongeng atau membacakan buku.
Yap, setiap mama punya cara khusus untuk mengungkapkan rasa sayangnya.
Kalau pada akhirnya memutuskan melepaskan label working
mom, saya tidak mau menyebutnya berkorban demi anak-anak tapi karena saya
bahagia dengan pilihan ini.
itulah mbak, dilema ibu pekerja. Bagi saya Quality time being as Mom...I've done.Sekarang saya enjoy saja bersama my little baby girl. :)
BalasHapusheheh iya dilema tapi harus dinikmati dan diambil hikmahnya...
Hapuskeren mak tulisannya, aku hiperlynk dr blogku yaaa
BalasHapusthank u konjungannya mak...saya hiperlink juga blog ma...
Hapusmantaf mak aku hiperlink jga ya
BalasHapussalam kenal dan makasih :)
salam kenal juga mak irma...makasih kunjungannya...saya link juga...
Hapussalam kenal mbak :)
BalasHapustulisannya menginsirasi sekali,,
ajarin saya menulis juga dong mbak biar masuk dirubrik :)
eheheh
salam kenal mba hasana, terima kasih sudha berkunjung. wah saya masih pemula kalau disurh ngajarin...klo rajin nulis diblog pasti biasa tinggal nambahin percaya diri untuk kirim ke media, kalau ditolak jangan putus asa...
BalasHapusPemula yang hebat ya mba Rina ini...
HapusSemoga suatu saat bisa seperti mba :)